Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penjiplakan dan Kultur Akademik

Kompas.com - 12/02/2010, 04:14 WIB

Di kelak kemudian hari, teori falsifikasi yang dikembangkan Karl Raymund Popper memberikan pelajaran, kesalahan dalam penerapan dua prinsip tersebut adalah sesuatu yang wajar karena kebenaran ilmiah tidaklah bersifat absolut. Akan tetapi, ketidakjujuran ilmuwan dalam mengungkapkan kebenaran ilmiah tentu saja menghilangkan keutamaannya. Artinya, ada yang lebih utama ketimbang kebenaran ilmiah.

Kultur akademik

Pelajaran yang bisa diambil dari kasus yang sedang kita hadapi, persoalannya tidaklah terletak pada falsifikasi atas kebenaran ilmiah, tetapi pada sikap akademisi terhadap kebenaran. Sudah jujurkah sang ilmuwan menguraikan kebenaran dalam pernyataan-pernyataan argumentatif?

Pada kenyataannya, argumentasi dalam sebuah proposisi keilmuan memang tidak bisa dikelabuhi karena bisa diuji melalui ilmu logika, tetapi proses pemunculan argumentasi itu tidak sulit untuk dimanipulasi. Sudah jamak dilakukan dalam penelitian sosial karena data statistik membentuk kurva juling, maka harus bisa ”dipaksa” menjadi kurva normal. Ilmu alam dikatakan sudah sahih bila sesuai dengan rumus hipotetis-apriori yang ditetapkan sebelumnya.

Dalam penelitian ilmu humaniora, kasus Jacques Derrida dalam penafsiran sebetulnya hanyalah ”membelokkan” kata, parafrase, dan maksud dari sumber-sumber asal.

Karena itu, sikap ilmuwan terhadap kebenaran ilmiah jelas membutuhkan tolok ukur lain yang menyangkut kejujuran, moralitas, dan integritas keilmuwan seseorang. Di dalam perspektif sosiologi ilmu, tolok ukur ini merupakan bagian sari pembangunan kultur akademik.

Dalam praktiknya, pembangunan kultur akademik di Indonesia memang kurang memadai. Contoh, dalam setiap lingkungan kampus sangat gampang dijumpai para ”konsultan” skripsi, tesis, dan disertasi. Rahasia umumnya, mereka membuatkan, bukan pembimbingan.

Terkait dengan kenaikan jabatan fungsional, seorang dosen bisa menjiplak karya orang lain untuk pembuatan buku ajar, mengunduh dari open source, ”titip nama” dalam tulisan ilmiah, atau ”mendompleng kelompok penelitian” dalam usulan penelitian.

Awal tahun ini, mencuat kasus ”pembersihan” ruangan perpustakaan dari skripsi-skripsi lama karena menyesaki ruangan. Skripsi dijual kiloan dan dapat dengan mudah ditemui di pasar buku bekas.

Belajar dari kenyataan itu, kasus penjiplakan oleh seorang guru besar kiranya hanyalah bagian kecil dari carut marut kultur akademik kita hari ini. Itu hanya kebetulan terungkap, di luarnya tak terhitung. Karena itu, penjatuhan sanksi terhadap pelaku pelanggaran tidaklah sekadar memberi efek jera bagi pelaku sebagaimana dianut dalam teori hukum. Tanpa harus menghilangkan semua pencapaian akademisnya selama ini, sanksi itu haruslah ditempatkan dalam kerangka pemahaman tentang pentingnya penegakan budaya akademik dalam skala yang lebih luas (11/2/10).

Saifur Rohman Ahli Filsafat dari Universitas Semarang

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com