Penjiplakan yang semakin panjang ekornya ini—sebagian besar dilakukan akademisi—menunjukkan rapuhnya bangunan intelektual perguruan tinggi. Perguruan tinggi tidak lagi mencetak seorang yang bisa menjadi brahma kumaris ishawariya vishwa vidyalaya atau seorang intelektual yang menjaga perilakunya dari kerusakan moral. Perguruan tinggi hanya organisasi, seperti organisasi pemerintahan dan birokrasi pada umumnya, yang sibuk dengan rutinitas formal, serta kalah cepat merespons perubahan sosial-budaya dan teknologi di luar lingkungannya.
Tumbuh suburnya kasus plagiarisme ini menunjukkan dunia perguruan tinggi semakin sepi dari tindakan ilmiah: meneliti dan menulis. Kampus hanya menjalankan satu fungsi minimalnya dan tidak produktif, yaitu mengajar. Mengajar hanya tindakan formalitas, dilakukan hampir tanpa kesadaran menginovasi modul, membuat hand out, hanya memfotokopi buku-buku dari pengarang otoritatif. Dosen menjadi cepat sensitif apabila ada bacaan-bacaan lain yang ditawarkan mahasiswa atau ketika menerima pertanyaan kritis.
Perguruan tinggi seharusnya memperbarui kultur akademik dengan mempromosikan dosen- dosen yang dianggap memiliki dedikasi pada pengembangan daya nalar (dalam bahasa Immanuel Kant, Vernunft) dengan menulis ke tempat yang layak. Yang kerap terjadi, dosen-dosen kritis dianggap ancaman, harus disingkirkan, dijauhi, dan difitnah. Otoritas kekuasaan kampus merasa terancam jika memilih dosen-dosen yang brilian.
Pimpinan kampus lebih senang mempromosikan dosen yang kompromis, tidak terlalu kritis, gemar petatah-petitih, dan menjilat. Realitas menunjukkan bahwa jabatan struktural lebih sering diisi oleh dosen yang berwatak birokrat dibandingkan dengan populis. Hal ini tentu akan berlangsung terus jika mekanisme pemilihan rektor, dekan, dan ketua jurusan tidak melibatkan semua unsur sivitas akademika. Selama ini, kekuasaan hanya ada di senat yang terbentuk dari tangan status quo.
Situasi tanpa energi ini tentu saja berbau pesing. Ketika tiba waktunya menulis karena kepentingan kepangkatan, sang dosen mulai panik. Jalan paling mudah adalah plagiasi. Atau jika pun menerbitkan karya, kualitas ilmiah dipertanyakan, hanya muncul pada jurnal di kampus sendiri yang dicetak terbatas dan tidak menjadi media komunikasi pengetahuan. Berkas terbitan hanya disisip sebagai lampiran pengurusan pangkat. Oleh karena dasar pengetahuan lemah dan metode rigoris tidak dimiliki, banyak dosen tak berani mengirimkan tulisannya ke media massa. Kemampuan untuk berwacana, mengontekstualisasi disiplin
Seperti korupsi dan pelacuran anak, kasus plagiarisme di Universitas Parahyangan adalah puncak gunung es, yang apabila dicermati juga ditemui di semua perguruan tinggi. Hukuman dari universitas itu cukup tepat dengan mencopot gelar fungsional sang profesor. Bahkan, jika perlu memecatnya agar penyakit ini tidak menjadi kanker akademis yang semakin kronis.
Teuku Kemal Fasya Dosen FISIP Universitas