Website
Unit perlindungan perempuan dan anak (PPA) yang ada di setiap polres/poltabes ternyata tidak diisi oleh orang-orang yang ahli dan profesional dalam bidang mengungkap kejahatan seksual pada anak. Padahal, para pelaku kejahatan seksual anak adalah orang-orang yang profesional dan punya keahlian yang tinggi dalam merekrut anak-anak untuk dijadikan obyek seksual komersial. Yang saat ini berhasil diungkap adalah kasus-kasus kejahatan seksual yang dilakukan oleh orang-orang yang kurang profesional dan cara kerjanya pun sangat mudah diidentifikasi oleh orang awam sekalipun.
Kejahatan seksual yang menimpa anak-anak masih belum mendapatkan tempat yang baik di dalam sistem hukum Indonesia. Undang-Undang Perlindungan Anak (UU No 23/2002) memang memberikan ancaman hukuman bagi pelaku kejahatan eksploitasi seksual, tetapi sayangnya tidak diatur lebih lanjut batasan dan unsur-unsur eksploitasi seksual tersebut sehingga membingungkan para polisi kita. Sebagai contoh, seseorang tidak bisa dipidana apabila membeli seks kepada anak-anak, kecuali jika ada pengaduan dari anak atau orangtuanya atau kasus tersebut tertangkap basah seperti yang berlangsung di salah satu hotel di Surabaya.
Artinya kriminalisasi terhadap orang-orang yang membeli seks kepada anak belum dianut dalam hukum Indonesia. Membeli seks adalah bagian dari traksaksi yang ”halal” dan polisi tidak bisa mengkriminalkan pelaku atas tuduhan membeli seks. Polisi baru bisa bertindak jika pembeli dan anak yang menjadi obyek seks tertangkap basah di dalam kamar dan bisa dibuktikan sudah melakukan hubungan seks. Situasi hukum Indonesia ini ternyata sangat bertentangan dengan hukum internasional yang mengatur masalah ini.
Indonesia sampai saat ini belum meratifikasi optional protocol Konvensi Hak-hak Anak tentang Perdagangan Anak, Pelacuran Anak, Pornografi Anak. Akibat belum harmonisnya hukum kita dengan standar internasional, jumlah pelacuran anak meningkat pesat. Untuk mengisi kekosongan ini ada dua alternatif yang bisa ditempuh. Pertama, ratifikasi optional protocol tersebut lalu diikuti dengan merevisi Undang-Undang Perlindungan Anak. Jalur kedua yang lebih cepat adalah membuat surat keputusan bersama antarpenegak hukum, yaitu Jaksa Agung, Polri, dan Mahkamah Agung untuk mengkriminalkan pembeli seks kepada anak-anak dan memberikan tafsir yang lebih konkret tentang eksploitasi seksual pada anak-anak.