Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Roni Tabroni, Penggagas Kampung Belajar

Kompas.com - 13/04/2010, 10:30 WIB

Kondisi orang-orang tua tidak kalah menyedihkan, banyak yang buta huruf. Kondisi ini menciptakan lingkaran setan kebodohan dan kemiskinan.

"Di sini, anak perempuan, keluar dari SD, harus siap putus sekolah, lalu jadi TKW. Sementara, anak laki-laki lebih banyak diminta membantu di ladang. Ini tidak bisa mudah begitu saja diintervensi", ungkapnya.

Yang membuatnya sedih, tidak jarang anak-anak usia SMP ini ditolak saat mendaftar sekolah karena ternyata belum mahir calistung (baca, tulis, dan menghitung). Banyak dari mereka yang tidak pede kembali ke sekolah sehingga akhirnya pilih jadi buruh dan TKW, tuturnya menunjuk kondisi di Cipatat.

Membuat supaya anak-anak ini mau berkunjung ke Kampung Belajar, awalnya juga tidak mudah. Untuk menarik mereka datang, dibantu para relawan, Roni punya pendekatan yang unik. Misalnya, ketika liburan sekolah tiba, mereka mengadakan permainan grup, outbound, botram (makan bareng), hingga pemutaran film-film mendidik dan menyenangkan.

Lain lagi strategi untuk mengundang ibu-ibu buta huruf agar dengan senang hati belajar calistung. "Biasanya, kami kemas dengan acara keterampilan, misalnya, bikin kue. Dari sini, kan, muncul resep, misal, butuh terigu satu kilo. Nah, dari sini, mereka pelan-pelan tanpa sadar belajar membaca dan mengenal angka", ungkap Roni.

Para relawan yang dibebani mengajar bukan sembarang tutor. Mereka sebelumnya telah dibekali dengan pendidikan dan pelatihan dengan metode ACM (aku cepat membaca) yang telah dikembangkan sejumlah pakar pendidikan. Sementara, untuk memberantas buta huruf Arab, digunakan metode Al-Barqi dengan proyeksi dalam delapan jam sudah bisa membaca.

Relawan-relawan

Kampung Belajar mengandalkan relawan-relawan di dalam operasional kegiatannya. Tutor, pengajar, hingga penjaga taman bacaan berasal dari berbagai unsur, baik mahasiswa dari UIN Sunan Gunung Djati maupun guru dan pelajar di desa setempat. Namun, jumlahnya saat ini hanya 10 relawan.

Dengan dikelola oleh unsur warga setempat, akseptansi masyarakat diharapkan lebih tinggi. Di Kuningan, misalnya, relawan penjaga taman bacaan adalah seorang pelajar kelas dua SMP.

"Soalnya, di sana, anak SMP ini yang paling tinggi sekolahnya, dibandingkan lainnya"", katanya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com