Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nasib Perpustakaan Daerah

Kompas.com - 17/05/2010, 18:15 WIB

Oleh Ari Zuntriana

Mungkin tak banyak pihak yang tahu bahwa tanggal 17 Mei telah dicanangkan secara resmi oleh pemerintah sebagai Hari Buku Nasional, tepatnya sejak delapan tahun silam atau ketika Mendiknas masih dijabat oleh Abdul Malik Fadjar.

Demikianlah yang sering terjadi di negeri ini, sering kali simbolisasi lebih dikedepankan daripada aksi nyata. Pencanangan Hari Buku Nasional terbukti tak banyak diikuti dengan komitmen dan upaya riil pemerintah untuk meningkatkan minat baca masyarakat. Salah satu buktinya adalah masih banyaknya perpustakaan daerah (perpusda) yang masih dikelola dengan manajemen ala kadarnya. Padahal, idealnya, perpusda bisa menjadi tempat untuk menyuburkan benih minat baca, terutama di kalangan generasi muda kelas menengah-bawah.

Di Jatim sendiri tak banyak perpusda yang berhasil unjuk gigi. Kalaupun ada, mungkin bisa dihitung dengan jari. Salah satu perpusda di Jatim yang terbilang sukses adalah Perpustakaan Umum Kota Malang, yang pernah ditahbiskan sebagai perpusda terbaik se-Jatim pada tahun 2005. Selebihnya, banyak perpusda yang hanya sekadar menyandang nama dan dikunjungi segelintir orang. Membina dan mengembangkan perpustakaan, tampaknya, memang belum menjadi kebijakan populis para pemangku kekuasaan di daerah.

Sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh Wakil Gubernur Jatim Saifullah Yusuf, dari 37 juta penduduk Jatim, hanya sekitar satu persen yang memiliki minat baca baik (Kompas, 1/4/2010). Tentu tak mengherankan, mengingat minat baca masyarakat Indonesia secara keseluruhan memang dinilai masih rendah. Laporan Human Development Report tahun 2008/2009 yang dirilis oleh UNDP menempatkan Indonesia pada peringkat 96 untuk minat membaca masyarakatnya. Posisi ini sejajar dengan dengan Bahrain, Malta, dan Suriname. Jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga, peringkat kita hanya mampu mengalahkan Kamboja dan Laos.

Budaya lisan bangsa Indonesia sering dipersalahkan sebagai penyebab utama rendahnya minat baca. Masyarakat kita yang agraris -terutama penduduk Jawa- sejak dulu sudah terbiasa melakukan transfer pengetahuan secara oral. Kebiasaan bertutur dari mulut ke mulut ini sudah menjadi kultur praliterasi yang begitu sulit ditandingi oleh kultur literasi, seperti membaca dan menulis.

Ketika budaya baca baru mulai diperkenalkan, bangsa kita tergagap-gagap dengan budaya posliterasi yang ditandai dengan munculnya teknologi multimedia. Jadilah, budaya membaca yang sama sekali belum mapan ini tersisih oleh pesaing-pesaing baru yang dengan cepat mengambil hati masyarakat.

Fenomena ini makin mengkhawatirkan di kalangan masyarakat muda kelas menengah ke bawah. Mereka tidak banyak memiliki akses terhadap buku. Banyak sekolah di daerah yang tak memiliki perpustakaan representatif. Sementara harga buku yang relatif mahal tidak terjangkau oleh kantong anak-anak muda kelas pinggiran ini. Kondisi ini diperparah dengan ketiadaan minat berkunjung ke perpusda.

Ada dua kemungkinan mengapa perpusda tak menarik untuk mereka. Pertama, karena minat baca yang rendah. Kedua, perpusda yang ada di daerah mereka memang tak layak dikunjungi.

SR Ranganathan pernah mengungkapkan bahwa perpustakaan merupakan organisme yang terus bertumbuh (growing organism). Perpustakaan harus terus berkembang seiring dengan perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Logikanya, perpustakaan akan terus dikunjungi jika pelayanannya semakin baik dan pengelolanya memiliki keberanian berinovasi.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com