Samuel Oktora dan Kornelis Kewa Ama
Cuaca pagi itu begitu mendung. Awan gelap menutupi Laut Sawu. Namun, tanpa diduga, kawanan paus (Physeter macrocephalus) terlihat. Para awak perahu Fato Kelesa pun segera memutar haluan menuju darat karena perahu itu bukan untuk berburu paus.
Mereka segera mengikatkan kain di ujung bambu sebagai tanda sambil berteriak baleo, baleo
Lamafa
Paus melakukan perlawanan. Namun, setelah mendapat serangan dari lamafa lain dan kena empat tikaman, paus itu tak berdaya. Semburannya sudah bercampur darah. Setelah bertarung sekitar 1,5 jam, paus sepanjang 10 meter dan tinggi 1 meter lebih itu pun akhirnya benar-benar tidak berkutik.
Selanjutnya, paus diikatkan pada salah satu sisi perahu dan ditarik ke darat. Warga setempat yang menunggu di pinggir pantai bersorak. Mereka benar-benar mensyukuri tangkapan itu karena sejak digelar Misa Lefa, pemberkatan laut sebagai tanda tibanya musim melaut pada 1 Mei lalu, mereka belum mendapatkan paus buruan.
”Puji Tuhan, rupanya ini berkat yang diberikan bagi masyarakat di sini bertepatan dengan Hari Raya Pentakosta,” kata tokoh masyarakat Desa Lamalera, B, Aloysius Gneser Tapoona, Sabtu (22/5).
Menyaksikan perburuan paus di Lamalera sungguh mengasyikkan. Selain bisa melihat betapa hebatnya nelayan di sana, kita dapat pula merasakan betapa menyatunya masyarakat dengan alam atau sesamanya.
Tak heran, Kataro Kojima, penulis Jepang yang setiap tahun mengunjungi Lamalera, sangat khawatir tradisi ini tertelan zaman seperti di negerinya. Jepang, sekitar abad XVII, juga melakukan perburuan paus secara tradisional. Namun, tradisi itu kini lenyap karena nelayan di Jepang sudah dilengkapi kapal-kapal modern.