”Lamalera milik dunia, bukan hanya milik Indonesia. Jadi, dunia pun harus menyelamatkan warisan budaya ini. Saat ini tradisi perburuan paus secara tradisional hanya ada di Indonesia dan Kanada. Jadi, kalau ingin melihat atau belajar berburu paus secara tradisional, ya ke Lamalera,” kata Kataro.
Perburuan paus di Lamalera bukan sebuah perburuan barbar untuk memenuhi naluri kebinatangan, melainkan sekadar menaklukkan makhluk yang lebih lemah tanpa batas. Tradisi Lamalera menunjukkan peradaban luhur yang sarat nilai.
Tradisi perburuan paus Lamalera diawali misa arwah yang digelar pada Jumat, 30 April, untuk memperingati arwah nelayan Lamalera yang tewas dalam perburuan paus. Sejak tahun 1970, ada sekitar 30 nelayan yang meninggal. Korban sebelumnya tidak terhitung.
Keesokan harinya, Sabtu, 1 Mei, tepat pukul 07.00 Wita, digelar Misa Lefa. Misa berlangsung di tepi Pantai Lamalera, persis di depan Kapela Santo Petrus, yang diapit 27 rumah adat. Sekitar 200 warga hadir dalam upacara itu.
Seusai Misa Lefa, perahu prasso sapang sepanjang 6 meter dan lebar tengah 1,5 meter didorong 14 pria dewasa ke laut setelah diperciki air berkat oleh Pastor Paroki Lamalera Yacobus Dawan Pr. Pelepasan prasso sapang ini membawa pesan kepada makhluk laut bahwa mereka membutuhkan hewan besar untuk barter di pasar.
Perahu pun mengarungi Laut Lamalera atau Laut Sawu. Sekitar 50 meter dari bibir pantai, layar prasso sapang dinaikkan. Tahun perburuan paus pun dimulai. Tanggal 1 Mei ditetapkan sebagai hari tahun baru nelayan Lamalera.
Menurut Pastor Dr Yan Perason Bataona SVD (67), tokoh kehormatan warga Lamalera, tradisi unik Lamalera ini sudah ada sejak 400-500 tahun silam sebelum gereja Katolik masuk.
Dalam tradisi ini semangat solidaritas terus dipupuk, misalnya melalui pembagian tangkapan. Untuk perburuan kali ini, tangkapan paus dibagikan kepada semua kampung Lamalera yang terdiri atas 1.740 jiwa (466 keluarga). Pembagiannya disesuaikan dengan peran dan strata sosial mereka. Bagian jantung paus, misalnya, untuk yang menikam paus pertama kali dan semua keluarga anggota suku pemilik perahu. ”Saya juga mendapatkan bagian tenarap (ekor) dan fadar (pangkal ekor paus),” kata Kepala Suku Bediona Abel Onekala Beding, yang juga sebagai atamola, arsitek perahu, serta pemilik Peledang Menula Belollo dan Kelulus.
Pada era global yang terbuka ini, warga Lamalera memang tidak bisa menutup diri dari arus luar. Perubahan budaya tak terelakkan. Contoh sederhana adalah cara berpakaian anak-anak remaja. Perempuan Lamalera yang biasanya mengenakan sarung, kefatek, khususnya pada upacara adat, sekarang cenderung mengenakan celana panjang dengan berbagai model.
Dalam konteks itu, mungkinkah tradisi perburuan paus ini bertahan? Menurut tokoh suku Lelaona dan Tuan Perahu Praso Sapang, Martinus Huku, saat ini hanya ada 20 perahu yang masih aktif beroperasi. Jika melihat data 466 keluarga di Lamalera, tidak sampai 5 persen penduduk masih mempertahankan perahu perburuan paus. Apakah ini indikasi mulai pudarnya tradisi tersebut?