Kehati-hatian pemerintah memberi kredit ke sektor pertanian tanaman pangan skala kecil memengaruhi kesejahteraan petani. Endang dan Aep tidak akan berani mengurangi pemakaian sarana produksi pertanian, seperti benih dan pupuk, serta pemeliharaan padi mereka. Turunnya hasil atau bahkan gagal panen bukan risiko yang dapat mereka tanggung. Alhasil, mereka mengurangi pengeluaran biaya hidup atau mencari pinjaman komersial ke bank seperti dilakukan Endang dengan bunga 2,5 persen per bulan.
Kehati-hatian penyaluran kredit untuk pertanian berkaitan dengan besarnya tunggakan Kredit Usaha Tani (KUT) yang hingga Februari 2009 masih Rp 5,3 triliun. KUT menjadi instrumen utama Orde Baru untuk meningkatkan produktivitas padi dan menurunkan kemiskinan di pedesaan. Melalui pengalaman sejak penerapan Bimbingan Massal tahun 1963, penerapan KUT lebih berhati-hati. Tunggakan kredit tahun pembayaran (TP) 1995/1996, misalnya, 16,8 persen dari realisasi kredit Rp 212,9 miliar, 23,4 persen dari Rp 230,2 miliar untuk TP 1996/1997, dan 17,4 persen dari Rp 374,4 miliar pada TP 1997/1998.
Seiring euforia reformasi, program KUT TP 1998/1999 digerojok dana besar-besaran, Rp 8,4 triliun, diberikan melalui Departemen Koperasi/Pengusaha Kecil dan Menengah. Akibatnya, 72 persen kredit menjadi tunggakan. Sejumlah pengurus koperasi dan lembaga swadaya masyarakat yang menyalurkan KUT di berhadapan dengan penegak hukum karena penyelewengan dana KUT.
Kredit Ketahanan Pangan (kemudian menjadi KKPE), yang menggantikan KUT, kembali disalurkan melalui bank. Artinya, bank menjadi penilai kelayakan kredit. Risikonya dialami Aep dan Endang karena bank tak kenal nasabahnya yang kecil-kecil dan tersebar lokasinya.
Bila Endang dan Aep yang berdaya itu kesulitan mengakses kredit pertanian, bagaimana nasib petani gurem seperti Nurohim di Cikampek Pusaka dan lebih dari 14 juta rumah tangga pertanian yang menguasai lahan kurang dari 0,5 ha, miskin, dan berpendidikan hanya SD?