Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Puasa, Relasi Sosial, dan Kebahagiaan

Kompas.com - 23/08/2010, 10:32 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Penelitian menunjukkan, kebahagaiaan pada masyarakat individualistis sekalipun, ternyata terletak pada kedekatan relasi sosial, bukan pada sukses karier dan harta. Puasa bisa menjadi sarana untuk berkontemplasi.

Jalaluddin Rahmat, kyai sekaligus pakar psikologi komunikasi, menyatakan bahwa puasa mestinya juga berarti puasa bicara. Mendengar ini, sepintas mungkin kita mengartikan harus lebih banyak menyendiri. Bagaimana nanti kalau dianggap aneh dan dijauhi kawan dan sanak saudara? Tentu ia tidak bermaksud rumit dan aneh.

Puasa bicara lebih dimaksudkan agar kita menyediakan waktu lebih banyak untuk menjalin relasi dengan Allah dalam hati, dan tidak berbicara hal-hal yang tidak perlu, seperti menjelek-jelekkan orang lain, bicara hal-hal yang kotor, dan sebagainya. Dengan puasa bicara, ada kesempatan untuk diam meditatif (hening), sehingga hati  lebih damai, dan damai pula saat berhadapan dengan orang lain.

Puasa bicara juga merupakan kesempatan berefleksi, mengamati gerak-gerik pikiran, perasaan, dan perbuatan kita dalam relasi dengan diri sendiri, Tuhan, orang lain, dan lingkungan hidup kita. Dengan demikian, kita akan memiliki kesadaran lebih luas (lebih utuh) mengenai hidup dan menemukan makna yang mendalam. Salah satu buah spiritualitas ini adalah perasaan terkoneksi dengan orang lain dalam komunitas di mana pun kita berada.

Perasaan terkoneksi dalam komunitas membuat kita tidak merasa berjarak dengan orang lain. Kita berhubungan dengan mereka secara lebih nyaman. Bagaimanapun, relasi sosial yang harmonis merupakan salah satu kunci kesehatan dan kebahagiaan.

Pentingnya relasi sosial Relasi sosial yang erat dan suportif (memberikan rasa suka, bersifat menyetujui, dan membesarkan hati) dengan teman dan keluarga, berkaitan erat dengan kesehatan dan kebahagiaan. Myers (2005) dalam buku Social Psychology menyajikan berbagai hasil penelitian yang menggambarkan hal itu.

Pertama, adanya peran positif relasi sosial yang erat terhadap kesehatan, disimpulkan setidaknya dari 8 hasil penelitian besar-besaran yang masing-masing melalui wawancara terhadap ratusan orang selama bertahun-tahun.

Riset lain menemukan bahwa orang yang hidup sendiri, lebih sering stres, kurang tidur, dan berkeinginan bunuh diri, lebih besar risiko kesehatannya. Mereka yang mudah berhubungan dengan orang lain (outgoing), afektif (penyayang), dan berorientasi pada hubungan, tidak hanya banyak teman, melainkan juga tak mudah sakit meskipun diinjeksi virus flu (hasil eksperimen).

Hasil penelitian lima tahun terhadap 423 pasangan lansia, menunjukkan bahwa mereka yang banyak menerima dukungan sosial (dari keluarga, teman, tetangga, pasangan) memiliki umur lebih panjang (penelitian ini sudah mengontrol faktor usia, jenis kelamin, status kesehatan awal, dan status ekonomi).

Ada kisah menarik melengkapi gambaran ini (Aronson dkk, 2007).  Pembalap sepeda ternama dunia, Lance Amstrong (22 tahun) divonis kanker testis serius, telah menyebar ke daerah perut, ginjal, dan otak. Seorang ahli yang mengobservasi keadaannya memperkirakan kesempatan hidupnya sangat kecil, hanya 3 persen.

Namun, Amstrong menghadapi keadaannya itu sebagai sebuah tantangan. Ia memanfaatkan waktu yang ada untuk mengerahkan pengetahuan perihal penyakitnya melalui dokter, keluarga, teman-teman. Pada saat itu (tahun 2000), ia menyatakan diri harus menghadapi kanker itu benar-benar secara fokus, dan lebih baik dari yang pernah dilakukannya saat lomba balap sepeda.

Dengan dukungan penuh dari orang-orang sekelilingnya, tiga tahun kemudian ia kembali sehat, telah mengikuti kompetisi balap sepeda dunia, dan memenang¬inya! Apakah ini sebuah keajaiban/mujizat?

Amstrong sendiri tidak mengerti mengapa ia bisa demikian. Yang pasti, ia merasakan dukungan luar biasa selama sakit dari orang-orang di sekitarnya. Terutama ibunya, yang memberikan waktunya secara penuh untuk mengatur jadwal, mengontrol diet, terapi, dsb. Para sahabatnya berkumpul saat ia menjalani pembedahan, dan sesudahnya teman-teman itu masih bersatu, makan bersama di sebuah restoran di seberang rumah sakit. Ia juga berhubungan sangat baik dengan para perawat dan dokter yang menanganinya.

Bahwa dukungan sosial berperan positif untuk kesembuhan pasien, sesuai dengan berbagai hasil penelitian (dalam dan luar negeri).  Dukungan sosial sangat dibutuhkan, khususnya bila seseorang mengalami stres (karena penyakit, dll). Keberadaan teman dekat dan keluarga yang memberikan dukungan memungkinkan seseorang mempersepsi masalah yang dihadapi tidak terlalu menekan.

Hubungan erat dengan banyak teman dan keluarga sangat berarti untuk kesehatan kita, baik dalam keadaan stres maupun tanpa stres.

Relasi Sosial dan Kebahagiaan Relasi sosial yang erat tak hanya memiliki efek positif terhadap kesehatan, melainkan juga kebahagiaan. Ini merupakan kesimpulan dari berbagai penelitian yang dirangkum Myers.

Masyarakat berbudaya individualis seperti Amerika, Kanada, mengutamakan kemandirian, privacy, dan kebanggaan terhadap prestasi pribadi. Sementara masyarakat berbudaya kolektivis seperti Indonesia, Jepang, Korea, Italia, Spanyol, dan lain-lain, yang mengutamakan ikatan sosial, lebih menjanjikan perlindungan dari kesepian, keterasingan, perceraian, hingga stres karena penyakit.

Meski demikian, dalam masyarakat individualis pun, mereka yang memiliki hubungan erat dalam berbagai kelompok sosial, juga menunjukkan kepuasan hidup yang lebih tinggi dibanding yang individualistis. Bagaimanapun, relasi sosial yang erat sangat berharga dalam hidup kita. Pada dasarnya kita ”dipanggil” untuk hidup sehat dan bahagia, salah satu jalan utamanya adalah memiliki hubungan erat dengan orang-orang di sekeliling kita.  

Tahun 2001, seorang rohaniwan yang mendalami psikologi pernah menyatakan bahwa psikologi hanya membicarakan kulit luar. Maksudnya, psikologi tidak membahas spiritualitas, berarti hanya membahas bagian yang dangkal dalam jiwa manusia. Untunglah, ternyata psikologi akhirnya berkembang lebih holistik, termasuk spiritualitas, sebab spiritualitas merupakan bagian inti jiwa manusia.

Dengan spiritualitas yang berkembang selama masa puasa, semoga kehidupan sosial kita juga berkembang lebih harmonis. Dan akhirnya kita menjadi lebih sehat dan bahagia.

Riset membuktikan • Mahasiswa-mahasiswa yang merasa paling bahagia adalah yang merasa puas dengan kehidupan cintanya. • Mereka yang menikmati hubungan erat lebih dapat mengatasi berbagai stres yang meliputi duka cita, perkosaan, kehilangan pekerjaan, dan penyakit. • Dari 800 alumnus sebuah perguruan tinggi di Amerika, yang lebih memilih ”penghasilan tinggi, sukes pekerjaan, dan prestis” (tidak memilih ”memiliki sahabat-sahabat dekat dan relasi perkawinan yang erat”), menggambarkan dirinya sebagai ”sedang” atau ”sangat” tidak bahagia. • Bila ditanya ”Apakah yang diperlukan untuk kebahagiaan Anda?”,  atau ”Apa yang membuat hidup Anda penuh makna?”, hampir semua responden menyebutkan: terutama adalah kepuasan dalam hubungan erat dengan keluarga, teman-teman, dan pasangan. Demikianlah,  berbagai penelitian telah membuktikan bahwa kebahagiaan ternyata tidak jauh-jauh dari tempat di mana kita berada. M M Nilam Widyarini M.Si Kandidiat Doktor Psikologi

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com