Selain menggambarkan jejak diplomasi Cheng Ho melalui misi-misi kebudayaan dan perdamaian dengan negara-negara yang dikunjungi, Tan Ta Sen juga menguatkan pendapat tentang pengaruh China atas penyebaran Islam di Nusantara. Argumentasi ini melengkapi tesis SQ Fatimi (1963) dan Slamet Muljana (1968) ataupun arus China-Islam-Jawa dalam riset Sumanto al-Qurtuby (2003). Tesis tentang arus China dalam penyebaran Islam di Nusantara ini melengkapi pendapat lain bahwa Islam di Nusantara disebarkan oleh tokoh agama ataupun pedagang dari Timur Tengah dan Gujarat (India).
Slamet Muljana, bahkan, meneguhkan argumen bahwa sebagian dari Walisongo yang merupakan tokoh penyebar agama Islam di Jawa merupakan keturunan China muslim. Kerajaan Demak juga tak bisa dilepaskan dari peran tokoh China yang telah membentuk simpul-simpul kebudayaan. Malah, Raden Patah, penguasa pertama kerajaan Demak, merupakan keturunan China bergelar pangeran ”Jin Bun”. Argumentasi ini diteruskan oleh Tan Ta Sen dengan data arkeologis, dokumentatif, dan arsip historis tentang warisan Cheng Ho yang mewarnai penyebaran agama di Nusantara.
Jejak diplomasi yang dipraktikkan Cheng Ho ketika mengunjungi wilayah Nusantara berdampak pada interaksi antaretnis di pesisir Jawa. Pasca-pelayaran Cheng Ho, etnis Jawa dan China menjalin hubungan harmonis dalam dimensi budaya, perdagangan, hingga religi. Jika diamati, banyak sekali akulturasi budaya Jawa-China pada makanan, busana, arsitektur, hingga bahasa. Hubungan harmonis ini pecah oleh politik kolonial Belanda yang membikin retak antaretnis Jawa-China. Puncaknya, diawali pada tahun 1740 dengan pembantaian ribuan warga China di Batavia. Setelah itu, berangsur-angsur hubungan antaretnis kembali retak. Pada awal abad ke-20, juga terjadi kerusuhan di Solo, Semarang, Kudus, dan kota lain yang disulut provokasi yang menjadikan hubungan Jawa-China semakin merenggang. Pada tahun 1998, tragedi ini terulang kembali dengan korban dan kerugian yang tak terkira.
Nilai-nilai diplomasi Cheng Ho yang penting sebagai pijakan untuk mencipta kembali hubungan kultural antaretnis. Ekspedisinya mewariskan nilai interaksi antaretnis, akulturasi budaya, dan komunikasi ideologis tanpa melalui jalan kekerasan. Kontak budaya inilah yang pada saat ini perlu dikaji untuk dikembangkan ulang sebagai model interaksi antaretnis yang efektif dan harmonis.
Sayang, sumber lokal yang disaring dalam buku ini terlalu terbatas untuk menggambarkan Cheng Ho di pesisir Jawa maupun Sumatera. Jika Singapura telah berhasil menghidupkan sosok Cheng Ho sebagai simbol budaya dan magnet pariwisata, lalu bagaimana memperlakukan kasim Dinasti Ming ini sebagai tonggak kontak budaya Nusantara?