Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Universitas yang Tidur dalam Kemewahan

Kompas.com - 20/11/2010, 09:45 WIB

Di Malaysia, semua mahasiswa bisa meminjam 20 buku per kartu, masa pinjam 40 hari dan bisa diperpanjang sampai 140 hari. Semua dilengkapi sistem jejaring elektronik dan dapat bertukar akses dengan berbagai perguruan tinggi dunia.

Perguruan tinggi di Malaysia amat sadar akan pentingnya buku. Itu terlihat dari upaya keras mereka meningkatkan kuantitas koleksi tiap tahun. Mereka punya tim pemburu buku dan jaringan pemesanan buku di berbagai tempat di dunia, termasuk Indonesia. Tidak salah jika berbagai terbitan dan kliping Indonesia disimpan di sejumlah universitas Malaysia. Kita dengan mudah menemukan koleksi lengkap majalah Editor, Tempo, Pandji Masyarakat, Suara Mesjid, Horison, dan majalah yang (mungkin) dianggap tak penting di Indonesia seperti Aneka Minang—terbit tahun 1970-an. Kita pun bisa mendapat majalah terbitan Hindia Belanda seperti Indische Verslag, Koloniale Studien, De journalistiek van Indie, dan Kroniek Oostkust van Sumatra Instituut, sekadar contoh.

Semua majalah itu disimpan bersama ribuan jurnal lama dan terbaru dari berbagai disiplin ilmu yang terbit dari berbagai sudut dunia, dari berbagai universitas terkemuka dunia. Perpustakaan mereka dilengkapi ruang audio visual, yang menyimpan dokumen mikrofilm, CD-DVD, kaset, dan film. Juga disediakan ruangan untuk mahasiswa peneliti, ruang diskusi, dan ruang laboratorium komputer-cyber, serta bioskop mini untuk memutar film.

Tidak salah jika mahasiswa Muslim Asia berbondong-bondong ke Malaysia untuk melanjutkan studi, termasuk dari Indonesia. Semua bisa mendapat beasiswa dan menjadi asisten riset. Gajinya jelas lebih besar dari gaji dosen golongan IVa di Indonesia.

Di Indonesia

Indonesia dengan kebijakan hebat meningkatkan porsi anggaran pendidikan hingga 20 persen, ternyata malah cenderung menswastakan universitas negeri. Artinya, memindahkan beban yang harus dipikul negara ke rakyat banyak. Dengan PDB tertinggi di ASEAN, sekitar 5.000 triliun rupiah, porsi 20 persen dari APBN tentu sangat signifikan. Namun, mengapa justru perguruan tinggi makin menguatkan diri sebagai komoditas mewah yang bisa diakses hanya oleh sebagian kecil penduduk?

Sebenarnya Indonesia hingga saat ini—walau diam-diam—masih jadi acuan utama bagi Malaysia, dan mungkin bagi sebagian negara ASEAN. Bangsa Indonesia disukai karena dianggap lebih dinamis, kreatif, dan egaliter—ini sangat disenangi dosen-dosen Malaysia.

Bangsa Indonesia memiliki dasar historis dan basis budaya pendidikan yang kuat dibandingkan Malaysia atau negara lain. Gairah intelektualnya lebih dahulu muncul dibandingkan Malaysia. Kondisi geografis, politis, historis, hingga kultural Indonesia menempati posisi tersendiri karena kekayaan, kebesaran, dan kematangannya.

Namun, sayang, semua itu tidak dijadikan dasar kuat membuat perguruan tinggi yang bisa menjadi acuan terbaik. Kita ingat, di abad ke-7, di masa Sriwijaya, kita sudah punya universitas yang jadi acuan banyak negara. Mungkin itu salah satu universitas tertua di dunia.

Sayang sekali, kita seperti tertidur dalam kemewahan warisan hebat di atas. Adakah karena kebijakan dan sistem yang tidak cerdas atau manusianya yang tidak cerdas. Jawabannya harus kita dapatkan bersama. Bersama-sama.

Penulis adalah Dosen Universitas Andalas, Mahasiswa Doktoral Universiti Kebangsaan Malaysia

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau