Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perempuan, Egois? No Way!

Kompas.com - 03/12/2010, 14:14 WIB

Oleh Hermawan Kartajaya (Founder & CEO, MarkPlus, Inc)
Bersama Nastiti Tri Winasis (Chief Operations, MarkPlus Insight)

KOMPAS.com - Budaya Indonesia yang kental dengan patrialisme cenderung memposisikan perempuan sebagai pelengkap laki-laki. Laki-laki pencari nafkah dan perempuan yang mengatur dan menata keuangan keluarga. Meskipun ada stereotip yang mengatakan bahwa perempuan sulit mengendalikan nafsu belanja, apalagi jika ada ada tawaran diskon yang menggoda, tetapi sadarkah bahwa kebanyakan perempuan sebenarnya mempunyai talenta sebagai manager keuangan yang bagus? Dalam beberapa hal, kaum hawa sebetulnya memiliki sejumlah kelebihan dalam mengelola uang yang tidak dimiliki oleh laki-laki. Apa sajakah talenta yang mereka miliki?

Pada dasarnya kecerdasan mengatur keuangan, berkaitan dengan kecerdasan mengelola emosi. Karena itu, selain diperlukan Intelegensia Quotient (IQ), juga Emotion Quotient (EQ) dalam mengelola keuangan, yaitu kemampuan mengendalikan emosi, merasakan perasaan orang lain dan menjadikannya inspirasi untuk mengambil keputusan.

Perempuan dinilai lebih cermat dalam urusan finansial. Urusan keuangan rumah tangga umumnya ditangani isteri, mulai dari pembelian kebutuhan rumah tangga bulanan hingga pembayaran berbagai rekening tagihan. Artinya, perempuan dianggap “paling tahu” berapa dana yang dibutuhkan atau bagaimana cara menyesuaikan anggaran.

Mampu mengatur pengeluaran secara bijaksana agar tidak gagal di masa depan mungkin menjadi salah satu agendanya. Belum lagi menyusun anggaran rumah tangga layaknya mengelola keuangan perusahaan, sehingga mereka akan terhindar dari defisit, pemborosan, dan memungkinkan untuk surplus sehingga bisa menabung dan berinvestasi. Bahkan, sekarang banyak perempuan ibu rumah tangga yang mulai memikirkan untuk mencari tambahan penghasilan sesuai dengan ketrampilan yang dimilikinya.

Perempuan juga dianggap “peduli detil”, sehingga dalam kondisi perekonomian yang tidak stabil pun perempuan menyikapinya dengan hati-hati sehingga bisa keluar dari masalah tersebut. Selain itu, perempuan dinilai tidak egois. Mungkin, uang bagi laki-laki adalah takaran kesuksesan pribadi untuk memuaskan egonya. Namun, perempuan melihat uang dari sisi personal, yaitu alat untuk mencapai tujuan hidup. Kelahiran anak, kematian pasangan, perceraian, dan sebagainya, menjadi trigger bagi perempuan untuk melakukan sesuatu dengan uangnya.

Mungkin salah satu obsesi perempuan adalah menjadi teladan bagi anak-anaknya mengenai bagaimana mengelola keuangan secara bijaksana sekaligus peduli pada orang lain.

Hasil riset yang dilakukan oleh MarkPlus Insight pertengahan 2010 terhadap 1.301 responden perempuan menunjukkan bahwa sebanyak 47,7 persen perempuan membeli produk untuk pasangannya, 47,6 persen untuk orang tuanya, 34,5 persen untuk anak-anaknya, 20,9 persen untuk saudara kandungnya, 7,0 persen untuk keponakannya, dan 5,6 persen untuk teman/sahabatnya. Lalu, gejala apakah ini? Apakah hal ini mencerminkan peran perempuan terhadap pengambilan keputusan pembelian produk begitu besar? Atau karena perempuan memang sangat peduli pada orang-orang di sekitarnya?

Dari diskusi terhadap perempuan single, mereka umumnya akan membeli hadiah pada saat sahabat mereka sedang berulang tahun sebagai bukti kepedulian; sementara perempuan single parent sudah pasti memutuskan pembelian untuk anak-anak mereka. Akan halnya perempuan menikah dan mempunyai anak, kebanyakan mengakui bahwa suami mereka terlalu repot untuk memikirkan pembelian produk bagi diri mereka sendiri. Mereka percaya sepenuhnya pada isterinya, khususnya berkaitan dengan barang-barang kebutuhan non elektronik.

Sebanyak 84,2 persen perempuan menikah yang disurvey mengaku memanage income/gaji suami, sisanya tidak melakukannya karena beberapa alasan, antara lain menerapkan manajemen keuangan yang terpisah atau si isteri merasa tidak mampu mengelola keuangan rumah tangga secara optimal. Hal ini cukup menjadi alasan bagi perempuan untuk pandai mengatur uang. Sangat wajar apabila kemudian mereka terlibat di hampir semua pembelian produk.

Ada beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa belanja bagi perempuan adalah “pelipur lara”. Kadang-kadang masalah keuangan yang terjadi tidak mengurangi minatnya untuk berbelanja, meskipun hanya sekadar window shopping saja. Bahkan, para psikolog mengatakan bahwa resesi yang terjadi saat ini dapat menimbulkan dua dampak bagi kaum perempuan, yaitu dapat memaksa mereka lebih banyak membelanjakan uangnya atau kemungkinan terburuknya mereka akan alami tekanan berlebih yang berisiko pada kesehatan mentalnya.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com