JAKARTA, KOMPAS.com - LBH Kendari menilai, ada beberapa kejanggalan terkait penangkapan Drs Abdul Rifai (80) dan Dra Zaliha Lasope (70), suami-istri pendiri Yayasan Universitas Islam Buton (Unisbun), oleh Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara dan sejak 30 Desember 2010 hingga Rabu (18/1/2011) ini, kedua pendiri Unisbun itu masih mendekam di Rutan Bau-bau, Sulawesi Tenggara.
Salah satu kejanggalan adalah bukti surat-menyurat antara pihak Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti) Kementrian Pendidikan Nasional dengan Unisbun, yang dalam hal ini adalah Abdul Rifai.
Yonathan dari LBH Kendari menuturkan hal tersebut kepada Kompas.com di Jakarta, Rabu (19/1/2011). Ia mengatakan, dalam perkembangan perkara yang awalnya hanya Pasal 263 Ayat 1 KUHP, ada satu surat yang nomor tanggal dan tahunnya sama dengan yang dikeluarkan olek Dikti dan yang dipegang Rifai.
Namun, kejanggalan muncul saat pihaknya bertemu dengan Direktorat Kelembagaan dan Kerjasama Dikti dan mengklarifikasi perbedaan kedua surat itu, khususnya soal surat yang asli. Ternyata, kata Yonathan, yang diakui Dikti adalah surat yang dipegang oleh Polda.
"Lho, berarti ada dua surat tapi hanya satu yang diakui. Surat dari Dikti itu capnya Kementrian, tapi surat yang dipegang Rifai capnya Departemen. Logikanya adalah, berarti Dikti telah punya cap Kementrian sejak 2008," papar Yonathan.
Selain persoalan cap, kejanggalan lain temuan LBH adalah ihwal semua surat ijin yang telah dikeluarkan oleh Dikti dan diterima Rifai dinyatakan palsu oleh Dikti. Ketika diklarifikasi oleh LBH tentang alasan surat izin tersebut bisa keluar, Dikti menolak mengatakan soal itu.
"Saya agak bersitegang soal ini. Saya juga tanyakan, mana orang Dikti yang bernama A Riyanto? Karena berdasarkan keterangan Rifai, A Riyanto itulah yang selama ini dikirim Dikti untuk melakukan supervisi dan mengecek lamgsung keberadaan Unisbun," ungkapnya.
Anehnya, lanjut Yonathan, kedatangan A Riyanto justeru berdasarkan surat tugas dari Dikti dan ketika diklarifikasi surat tersebut tidak diakui Dikti.
"Pihak Dikti bilang tidak ada tim yang dikirim ke Buton. Lalu saya tanya, pak Riyanto ini siapa? Mereka bilang betul ini staf Dikti dan dikatakan sebagai staf biasa yang sedang dalam posisi pensiun dan akan dipecat. Lho, seharusnya A Riyanto ini peran kunci untuk membongkar kasus ini," tegas Yonathan.
Di sisi lain, Yonathan menyesalkan sikap Polda Sultra yang tidak pernah memeriksa atau mengecek sosok A Riyanto. Padahal dalam BHP mengatakan, kuasa pengurusan izin sudah menyatakan A Riyanto sebagi kuasa Unisbun untuk mengurus surat-surat Unisbun dan diberikan ke Dikti agar izinnya keluar.