Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Revitalisasi Pendidikan Agama

Kompas.com - 22/02/2011, 02:56 WIB

Kondisi kita memang berbeda dengan Barat. Hasil survei yang dilakukan PR May dan OR Johnson, dua peneliti pendidikan agama di sekolah-sekolah di Inggris timur laut, misalnya, menunjukkan bahwa 96 persen orangtua murid setuju jika anaknya belajar agama Kristen (agamanya sendiri) dan 80 persen setuju diajarkan agama-agama besar lainnya (FG Herod, 1968). Artinya, di Barat minat untuk memahami eksistensi agama-agama jauh lebih besar daripada di Indonesia.

Orang-orang Indonesia takut jika mempelajari agama lain berubah menjadi kafir. Pembelajaran perbandingan agama di samping membimbing cara bersikap anak untuk lebih terbuka dan toleran dalam hubungannya dengan orang yang berlainan keyakinan, juga memperkaya wawasan dan pengalaman keagamaan. Anak didik akan memiliki pandangan positif terhadap kemajemukan di sekitarnya.

Corak masyarakat Indonesia yang heterogen memiliki peluang besar dalam menerapkan pendidikan multikultural. Sebagai contoh, di Surabaya sudah banyak sekolah yang secara tidak langsung mengajarkan anak didiknya tentang cara bersikap toleran terhadap temannya yang berbeda agama. Itu penting agar anak didik sejak dini diajarkan cara memperlakukan dan menghargai teman lain.

Siswa Muslim dilatih bersikap inklusif dengan cara mencari hal-hal yang bisa dijadikan landasan hidup bersama, seperti prinsip kesatuan humanitas, kesadaran sebangsa-setanah air, dan tanggung jawab bersama sebagai khalifah di muka bumi. Tentunya guru-guru pembimbing harus terlebih dahulu memberikan keteladanan kepada para siswa.

Begitu juga siswa Kristen, perlu diajak berpikir kritis menyorot adagium klasik extra ecclesiam nulla salus (di luar gereja tak ada keselamatan). Apalagi, pasca-Konsili Vatikan II, gereja melahirkan pandangan teologi baru bahwa keselamatan Tuhan berlaku universal dan semua manusia akan dipanggil menuju keselamatan itu. Keterbukaan aklesial inilah yang perlu dijadikan rujukan agar siswa Kristen bisa menghargai kehadiran agama lain.

Bekal yang diperoleh dari sekolah yang menerapkan pendidikan multikultural tersebut akan jadi investasi sosial dalam bermasyarakat. Mereka tidak gampang diprovokasi karena dalam jiwanya telah tertanam nilai-nilai penghormatan terhadap kemajemukan.

Singkat kata, pemerintah perlu mendesain ulang kurikulum pendidikan agama berbasis multikultural yang lebih menyentuh pada persoalan konkret, seperti eksklusivisme, intoleransi, apatisme, dan diskriminasi rasial, sehingga fenomena pemberangusan atas nama agama dapat dieliminasi. Dengan demikian, sektor pendidikan bisa memberikan kontribusinya.

Achmad Fauzi Aktivis Multikulturalisme; Alumnus Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com