Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kenangan Revolusi dari Kota Tobruk

Kompas.com - 08/03/2011, 06:02 WIB
Oleh: Musthafa Abd Rahman

Begitu masuk wilayah Libya, Kamis pagi , apa yang terlintas dalam benak adalah ingin segera melihat kota Tobruk. Kota itu kaya dengan catatan sejarah perlawanan dan dikenal pula sebagai salah satu kunci perubahan di Libya, bahkan Afrika Utara.

Pasalnya, letak kota Tobruk (sekitar 150 kilometer dari perbatasan Libya- Mesir) cukup strategis, berada di titik temu antara Mesir dan Libya.

Memasuki kota Tobruk, kita memang langsung dihadapkan pada kesan bahwa Libya kini sudah berubah, baik secara fisik maupun mental penduduknya. Wajah ceria penduduk kota Tobruk yang berjumlah sekitar 300.000 jiwa itu mencerminkan kebebasan dan kebahagiaan yang kini mereka nikmati setelah lepas dari kungkungan rezim otoriter Moammar Khadafy.

Kota Tobruk dan kota-kota lain di wilayah Libya timur jatuh ke tangan kaum revolusioner sejak pecah perlawanan rakyat pada 15 Februari lalu.

Tatkala menginjakkan kaki di Alun-alun Syuhada (martir) di jantung kota Tobruk, perubahan mendasar di kota itu makin dirasakan.

Alun-alun Syuhada sudah serta-merta menjadi saksi sejarah perubahan kota Tobruk dari era rezim otoriter Khadafy ke era revolusi yang memberikan kebebasan kepada penduduknya. Di alun-alun itu, sebanyak 200 pemuda revolusioner gugur ditembak milisi keamanan Khadafy pada hari meletusnya revolusi pemuda Libya, 15 Februari lalu.

Seorang aktivis politik kota Tobruk yang mengaku bernama Mohamed Taher (51) tiba-tiba mendekati Kompas ketika ia mengetahui kendaraan yang kami tumpangi datang dari arah perbatasan Mesir-Libya. ”Apakah Anda seorang wartawan?” tanya Taher saat itu. ”Ya, saya wartawan Indonesia,” jawab penulis.

Setelah itu Taher dengan semangat mengajak ke serambi Masjid Raja Idris yang terletak di Alun-alun Syuhada untuk menunjukkan nama-nama dan foto para korban tewas ditangan milisi keamanan rezim Khadafy.

Nama 200 pemuda kota Tobruk, yang gugur dalam revolusi Februari, dan juga nama sejumlah pemuda Libya yang tewas selama era rezim Khadafy, tertulis di serambi Masjid Raja Idris. Ada lagi daftar nama para pemuda yang terpampang lengkap dengan foto mereka. Mereka adalah pemuda-pemuda yang tewas di tangan milisi keamanan Khadafy dalam berbagai masa. Ada korban yang tewas pada 1980, 1985, 1981, 1996, 2000, dan 2001.

”Anda sekarang bisa melihat sendiri, foto-foto dan nama-nama korban tewas akibat kekejaman rezim Khadafy,” ujar Taher saat itu. Ia lalu menunjuk foto seorang pemuda Libya yang tewas pada perang perbatasan Libya-Chad pada 1980-an. ”Ia tewas pada perang Libya-Chad dahulu. Untuk apa Khadafy memerangi Chad? Perang yang tidak ada tujuannya dan hanya membawa banyak korban tewas dan luka-luka dari para pemuda Libya saat itu,” ujar Taher berapi-api.

Terlihat pula banyak penduduk kota Tobruk yang berkerumun melihat foto-foto dan nama-nama korban tewas warga Libya pada era rezim Khadafy itu. Rupanya foto-foto korban tewas di tangan rezim Khadafy menjadi tontonan menarik bagi penduduk kota Tobruk.

Taher lalu menunjuk sebuah bangunan yang dindingnya berwarna kehitaman, bekas dilalap api. ”Itu bangunan bekas kantor aparat keamanan dan intelijen rezim Khadafy yang dibakar massa pada 17 Februari lalu,” tutur Taher.

Di Alun-alun Syuhada itu juga dibangun semacam ”puskesmas” lapangan dalam bentuk tenda. ”Kami membangun klinik lapangan ini sejak 10 hari lalu untuk memberikan pelayanan kesehatan secara gratis kepada penduduk kota ini. Setiap hari ada saja warga yang datang untuk konsultasi kesehatan atau meminta pengobatan,” ungkap dokter Tareq yang menjaga klinik lapangan itu.

Di Alun-alun Syuhada banyak pula pamflet bertuliskan bahasa Inggris yang bersuara mendukung revolusi, seperti ”No more tribal system”, ”Libya now is in the world, capital of peace, freedom and stability”. ”Libya bersatu, tidak ada perpecahan dan tidak ada kesukuan”.

Bagi kaum revolusioner Libya, jatuhnya kota Tobruk ke tangan mereka memiliki nilai geografis, ekonomi, dan juga militer yang signifikan karena arus lalu lintas manusia atau kendaraan dari Mesir ke Libya dan juga sebaliknya pasti melintasi kota Tobruk.

Kota tersebut juga dikenal sebagai basis Angkatan Laut dan Angkatan Udara Libya sejak era monarki hingga kini rezim Khadafy.

Sejak 1960-an, Tobruk terus berkembang menjadi pelabuhan minyak penting. Ladang-ladang minyak di gurun selatan Libya dialirkan ke Tobruk melalui pipa.

Kota itu pun senantiasa menjadi incaran sejak era kolonial dahulu. Ada rumor, sejak era kolonial Italia di Libya, siapa yang menguasai kota Tobruk akan mengendalikan Afrika Utara bagian timur yang memanjang dari wilayah Libya timur hingga Mesir bagian barat.

Pada 1911, Tobruk menjadi basis militer Italia. Namun, pada masa Perang Dunia II, pasukan sekutu menduduki kota Tobruk pada 22 Januari 1941.

Kota Tobruk sering menjadi ajang pertempuran sengit antara pasukan sekutu di satu pihak dengan pasukan Italia dan Jerman di pihak lain. Pertempuran terkenal di Tobruk adalah pertempuran Gazala pada Mei 1942.

Pasukan gabungan Italia-Jerman di bawah komando Jenderal Erwin Rommel lalu kembali menguasai Tobruk pada Mei-Juni 1942.

Tobruk, dan tentunya Brega di Teluk Sirte di timur Tripoli, serta Ajdabiya di pesisir, adalah kota-kota vital bagi Libya lantaran dari kota dan wilayah inilah energi disuplai.

Kasarnya, apabila pasukan pendukung Khadafy merebut kembali kota Brega dan Tobruk, mereka akan bisa mengisolasi Benghazi—basis oposisi—tanpa persediaan gas dan energi....

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
    atau