Begitu masuk wilayah Libya, Kamis pagi , apa yang terlintas dalam benak adalah ingin segera melihat kota Tobruk. Kota itu kaya dengan catatan sejarah perlawanan dan dikenal pula sebagai salah satu kunci perubahan di Libya, bahkan Afrika Utara.
Pasalnya, letak kota Tobruk (sekitar 150 kilometer dari perbatasan Libya- Mesir) cukup strategis, berada di titik temu antara Mesir dan Libya.
Memasuki kota Tobruk, kita memang langsung dihadapkan pada kesan bahwa Libya kini sudah berubah, baik secara fisik maupun mental penduduknya. Wajah ceria penduduk kota Tobruk yang berjumlah sekitar 300.000 jiwa itu mencerminkan kebebasan dan kebahagiaan yang kini mereka nikmati setelah lepas dari kungkungan rezim otoriter Moammar Khadafy.
Kota Tobruk dan kota-kota lain di wilayah Libya timur jatuh ke tangan kaum revolusioner sejak pecah perlawanan rakyat pada 15 Februari lalu.
Tatkala menginjakkan kaki di Alun-alun Syuhada (martir) di jantung kota Tobruk, perubahan mendasar di kota itu makin dirasakan.
Alun-alun Syuhada sudah serta-merta menjadi saksi sejarah perubahan kota Tobruk dari era rezim otoriter Khadafy ke era revolusi yang memberikan kebebasan kepada penduduknya. Di alun-alun itu, sebanyak 200 pemuda revolusioner gugur ditembak milisi keamanan Khadafy pada hari meletusnya revolusi pemuda Libya, 15 Februari lalu.
Seorang aktivis politik kota Tobruk yang mengaku bernama Mohamed Taher (51) tiba-tiba mendekati Kompas ketika ia mengetahui kendaraan yang kami tumpangi datang dari arah perbatasan Mesir-Libya. ”Apakah Anda seorang wartawan?” tanya Taher saat itu. ”Ya, saya wartawan Indonesia,” jawab penulis.
Setelah itu Taher dengan semangat mengajak ke serambi Masjid Raja Idris yang terletak di Alun-alun Syuhada untuk menunjukkan nama-nama dan foto para korban tewas ditangan milisi keamanan rezim Khadafy.
Nama 200 pemuda kota Tobruk, yang gugur dalam revolusi Februari, dan juga nama sejumlah pemuda Libya yang tewas selama era rezim Khadafy, tertulis di serambi Masjid Raja Idris. Ada lagi daftar nama para pemuda yang terpampang lengkap dengan foto mereka. Mereka adalah pemuda-pemuda yang tewas di tangan milisi keamanan Khadafy dalam berbagai masa. Ada korban yang tewas pada 1980, 1985, 1981, 1996, 2000, dan 2001.
”Anda sekarang bisa melihat sendiri, foto-foto dan nama-nama korban tewas akibat kekejaman rezim Khadafy,” ujar Taher saat itu. Ia lalu menunjuk foto seorang pemuda Libya yang tewas pada perang perbatasan Libya-Chad pada 1980-an. ”Ia tewas pada perang Libya-Chad dahulu. Untuk apa Khadafy memerangi Chad? Perang yang tidak ada tujuannya dan hanya membawa banyak korban tewas dan luka-luka dari para pemuda Libya saat itu,” ujar Taher berapi-api.