KOMPAS.com - Salah satu seri buku Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berjudul "Menata Kembali Kehidupan Bangsa" ini tidak tepat untuk dijadikan salah satu buku panduan atau referensi di segala tingkat sekolah, terutama bagi sekolah dasar (SD). Ada beberapa bagian materi dalam buku ini yang justru dapat digolongkan misleading.
Disebut misleading karena terdapat penyimpangan antara data tertulis yang disajikan dan fakta yang terjadi di lapangan sehingga dapat dikategorikan bias atau tidak mendidik pelajar tetapi lebih kepada mempengaruhi serta menggiring mereka untuk kepentingan popularitas seorang tokoh.
Pada subjudul "Memangkas Ketidakadilan" misalnya, seakan program pemerintahan SBY dapat dikategorikan berhasil dalam mengentaskan kemiskinan lewat pemangkasan subsidi BBM. Fakta yang ada berdasarkan kutipan di Harian Kompas, 10 Maret 2011, menyebutkan bahwa sebelum krisis, volume APBN di bawah Rp 100 triliun dan PDB Rp 877 triliun. Saat itu, kasus kemiskinan di Indonesia berkisar 22 juta orang. Kini, dengan APBN Rp 1.200 triliun dan PDB mendekati Rp 7.000 triliun, tetapi kasus kemiskinan justru meningkat menjadi 31 juta orang.
Ada beberapa subjudul lainnya seperti "Siapa yang Pro Rakyat", serta "Kontrak Exxon yang Menuai Pujian" yang juga dapat dianggap sebagai bagian materi yang dimaksudkan untuk lebih menonjolkan popularitas SBY tanpa melihat secara menyeluruh aspek pembangunan yang gagal.
Berdasarkan fakta di lapangan, banyak ekonom mengaitkan betapa sulitnya menurunkan angka kemiskinan dengan praktik-praktik tata kelola pemerintahan, serta paradigma pembangunan dan paradigma kebijakan pemberantasan kemiskinan yang tak jarang bukan saja tak berpihak kepada kelompok miskin, melainkan juga memiskinkan.
Sebagaimana banyak negara lain, Indonesia mengawali pembangunan dari sektor pertanian. Namun, kebutuhan untuk menjadi negara modern, lebih- lebih pascaberakhirnya bonanza minyak yang membuat pemerintah banting setir ke upaya menggenjot industri berorientasi ekspor guna menghemat devisa, membuat pertanian dan pembangunan pedesaan kemudian "ditinggalkan" dan sekadar menjadi pengganjal sektor industri.
Permasalahan itu ditambah lagi dengan eksploitasi sumber daya alam di Indonesia oleh pihak asing, baik untuk kontrak minyak maupun tambang lainnya termasuk tambang emas, yang masih dipertanyakan secara luas, apakah eksploitasi itu lebih menguntungkan pihak asing atau untuk dipakai secara luas bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Tentunya, poin-poin tersebut perlu mendapatkan sorotan tajam agar pelajar Indonesia nantinya tidak tercemar oleh pandangan yang keliru akibat praktik-praktik manipulasi popularitas yang lebih mengedepankan kesuksesan seorang tokoh ketimbang secara netral dan terbuka memperlihatkan pandangan bangsa terhadap kenyataan semestinya.
Dengan demikian, Indonesia diharapkan tidak kembali keliru merajut gulungan peristiwa yang bergulir dari kenyataan sejarah seperti dengan beredarnya buku sejarah G30S PKI yang di kemudian hari dipertanyakan kebenarannya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.