Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Entropi Pendidikan

Kompas.com - 18/04/2011, 08:12 WIB

Aparat yang sudah digaji melayani publik malah sering melakukan pungutan liar. Tabungan nasabah yang semestinya dijaga dibobol dengan mudah. Namun, nasabah kakap yang dirugikan tidak berani angkat bicara karena ternyata rekeningnya adalah bagian dari mekanisme pencucian uang. Jadilah adagium ”jika Anda diam, Anda emas”.

Seribu satu contoh masih bisa disebutkan tanpa melupakan begitu hebat anggota Dewan kita memperjuangkan pembangunan gedung baru DPR, padahal masih punya gedung yang bisa dipakai. Sekali lagi yang muncul adalah mentalitas merasa lumrah menganggarkan untuk diri sendiri, lupa bahwa rakyat yang diwakili masih hidup menderita.

Keadaan seperti ini semestinya mencemaskan. Kita telah memasuki zona yang disebut jurnalis Spanyol, Iñaki Gabilondo, sebagai el pacto de la ceguera atau pakta kebutaan. Semua orang seakan sepakat untuk tidak melihat apa yang menjadi masalah dan malah berusaha membenarkan diri sendiri.

Lalu, haruskah kita membiarkan percepatan pelapukan entropis yang menggerogoti bangsa ini merajalela? Apakah derita akibat salah ajar, dalam istilah Thomas Amstrong, dibiarkan berlarut sambil bangsa ini melewatkan waktu tanpa ada perubahan transformatif yang lebih mengena?

Tentu saja tidak. Duka bangsa ini sudah begitu banyak dan tidak perlu diperpanjang. Karena itu, yang dibutuhkan adalah komitmen untuk melawan pola peraksasaan otak dan pengerdilan hati ini dengan menawarkan model pendidikan yang lebih kritis, kreatif, dan tentu saja konstruktif.

Melawan di sini tentu tidak sekadar berarti menghalangi pelaksanaan UN lantaran di baliknya ada megaproyek yang tentu saja jadi tumpuan hidup banyak orang. Melawan juga bukan sekadar melansir model UN baru yang lebih transparan lantaran pola yang ada saat ini terkesan misterius dan baru disosialisasikan tiga bulan sebelum pelaksanaan.

Hal yang sangat diharapkan adalah mentalitas proses pembelajaran. Suasana pendidikan akan menjadi akrab dan menyenangkan karena antara konsep dan proses metodologis begitu baik diimplementasikan. Dengan demikian, ujian (apalagi UN), apa pun modelnya, akan disambut gembira dan tidak lagi menjadi makhluk aneh yang ditakuti.

Namun, pembelajaran semestinya punya sokongan publik sehingga tidak hanya dilaksanakan di ruang kelas, tetapi juga di semua lini: dari pasar, jalan, lembaga publik, hingga media massa. Semua sadar bahwa apa pun yang dilakukan akan menjadi panutan yang nilainya tidak kalah penting daripada ujian di sekolah.

Bila kita berkomitmen demikian, niscaya bangsa ini akan lebih cepat maju. Proses entropis yang menjadi proses alamiah tidak perlu dicemaskan karena semua orang yakin, pada masanya mereka sudah berbuat yang terbaik. Itulah harapan kita.

Robert Bala Pengajar Creative and Critical Thinking di Universitas Multimedia Nusantara, Serpong

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com