BANDUNG, KOMPAS.com — Tidak ada sungai yang peran dan fungsinya begitu strategis sebesar Citarum. Selain menerangi peradaban hampir separuh penduduk negara ini di Pulau Jawa dan Bali, Citarum juga mengairi irigasi pertanian, perikanan, pemasok air untuk industri, dan menyumplai bahan baku air minum, khususnya bagi 80 persen warga DKI Jakarta.
Itulah yang menjadi alasan Kompas melakukan ekspedisi Citarum 2011. Bagi peradaban bangsa, eksistensi sungai yang mengalir dari Situ Cisanti di kaki Gunung Wayang, Bandung Selatan sejauh 269 kilometer hingga Muara Bendera Kecamatan Muaragembong Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, tidak sekedar penyedia kebutuhan jasmani, yaitu air bersih. Melainkan multifungsi, baik secara ekonomi, perdagangan, pertanian, dan peternakan, maupun pertahanan (benteng alam) dari musuh.
Untuk fungsi yang terakhir ini, peran Citarum hampir sebanding dengan sungai pada peradaban tua dunia seperti Sungai Nil di Mesir, Mesopotamia atau Eropa yang kemudian menghasilkan ilmu pengelolaan sungai, one river, one plan, one management. Peran ini terutama ditunjukan Citarum di Rengasdengklok, sebuah kecamatan di Kabupaten Karawang, Jawa Barat.
Malah melalui kota kecil yang terletak 25 kilometer utara Kota Karawang ini Sungai Citarum telah mengantarkan bangsa ini ke pintu gerbang kemerdekaan. Kota itu dalam sejarah nasional menjadi tempat perjuangan sekaligus mempertahankan proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 1945. Itu semua, berkat letaknya yang strategis di pinggir Sungai Citarum. Aliran Citarum yang memanjang dari Tanjungpura (Karawang)-Rengasdengklok- hingga Laut Jawa sejauh 60 kilometer merupakan benteng alamiah dari serbuan musuh republik yang datang dari arah Jakarta.
Pada masa pendudukan Jepang, Rengasdengklok diincar untuk dijadikan benteng pertahanan menghadapi Sekutu (Ensklikopedi Nasional Indonesia, Delta Pamungkas 1997). Ketika Jepang menyerah pada Sekutu 14 Agustus 1945, pasukan Rakyat dan Pembela Tanah Air (PETA) segera mengambil pos-pos pertahanan penjajah Negeri Sakura itu.
Di sepanjang Sungai Citarum lalu dibangun pos-pos penjagaan. Sebab wilayah ini merupakan basis pertahanan barisan pejuang yang tergabung dalam pasukan gerilya, di antaranya Benteng Wulung Macan Citarum.
Pada tanggal 16 Agustus 1945 dilakukan pengibaran bendera Merah Putih sekaligus menurunkan bendera Jepang. Setelah pengibaran Merah Putih di tangsi Peta itu dilakukan pengibaran Merah Putih di depan gedung kewedanaan Rengasdengklok yang dipimpin oleh asisten Wedana Sujono Hadipranoto, diikuti oleh barisan Pelopor. Setelah upacara, Achmad Ginun dari barisan pelopor ditugaskan untuk mengumumkan kepada seluruh rakyat bahwa Indonesia telah merdeka.
Saat itu Bung Karno dan Bung Hatta berada di rumah singgah milik Djiauw Kie Siong di pinggir Sungai Citarum, Rengasdengklok. Kedua pemimpin bangsa itu kemudian mengumumkan Proklamasi Kemerdekaan RI esok harinya, 17 Agustus 1945 di Jakarta. Namun para pejuang lebih dulu mengumandangkannya di aliran Sungai Citarum.
Mengawal peradaban
Setelah merdeka, Citarum terus mengalirkan semangat sekaligus mengawal peradaban bangsa ini dengan menebarkan fungsinya. Sungai terbesar dan terpanjang (269 kilometer, versi Balai Besar Wilayah Citarum-BBWS/Kementerian Pekerjaan Umum) di Jawa Barat ini memasok air ke Pusat Listrik Tenaga Air di Waduk Jatiluhur (187 Mega Watt).
Waduk Juanda (Jatiluhur) yang dibangun tahun 1963 juga mengairi 240.000 hektar sawah di Kabupaten Karawang, Purwakarta, Subang, dan sebagian Indramayu. Daerah pantura ini dikenal sebagai lumbung padi nasional. Waduk ini juga memasok air minum warga Ibu Kota Jakarta.
Tahun 1986 dibangun Waduk Saguling (700-1.400 MW) dan Cirata dua tahun kemudian (1.008 MW). PLTA di kedua waduk ini memasok listrik untuk jaringan interkoneksi Pulau Jawa-Bali yang dihuni hampir separuh dari penduduk republik ini. Kini Citarum yang memiliki wilayah daerah aliran sungai (DAS) seluas 12.000 kilometer persegi ini melayani air minum 25 juta jiwa penduduk, 15 juta di Jabar dan 10 juta di DKI Jakarta. Total air irigasi yang dipasok Citarum mencapai 420.000 hektar di Kabupaten Bandung, Kota Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Cianjur, Purwakarta, Karawang, Subang, dan Indramayu.
Akan tetapi, bangsa ini lupa sejarah dan tidak tahu berterima kasih. Secara tak bertanggungjawab sejak hulu, Citarum malah dijadikan tempat pembuangan limbah peternakan, pertanian, pabrik/industri, dan rumah tangga. Di hulu sungai, daerah tangkapan airnya dieksploitasi melalui peralihan fungsi lahan dari hutan menjadi tanaman semusim. Semua itu dilakukan tanpa kendali sehingga menimbulkan erosi dan sedimentasi yang sangat tinggi. Penanganan yang ada selama ini dilakukan oleh BBWS Citarum melalui pengerukan sungai dan pemeliharaan tanggul, terutama di Cekungan Bandung. Pada DAS Citarum tidak ada satu lokasi pun yang kualitas airnya memenuhi baku mutu air. Di Waduk Cirata misalnya, kualitas airnya berkategori buruk bagi air baku minum (Laporan Badan Pengelola Waduk Citara dan Pusat Penelitian Sumber Daya Alam dan Lingkungan Unpad Bandung Triwulan IV 2010).
Air yang sudah terendapkan di waduk ini juga tidak layak bagi perikanan dan peternakan. Padahal di waduk ini terdapat 50-70 ribu perikanan keramba jaring terapung (KJA). Setiap hari puluhan ton ikan dipasarkan bagi konsumen Bandung, Bekasi, dan di DKI Jakarta.
Parameter yang tidak memenuhi syarat bagi air minum karena air Cirata mengandung H2S, bakteri E Coli dan Coliform serta COD dan BOD nya melebihi ambang batas. Sedangkan tidak layak bagi perikanan dan peternakan karena mengandung H2S, NH3-N, NO2-N, Cl2, dan CU.
“Kami hanya bisa prihatin karena air jernih dijadikan pembuangan kotoran sapi,” ungkap Agus Darajat, tokoh masyarakat Desa Tarumajaya Kecamatan Kertasari. Di desa ini terdapat Situ Cisanti, di kaki Gunung Wayang yang menjadi sumber pertama mata air Citarum. Sampai hilir
Pencemaran dan sedimentasi yang hebat terus mengalir ke hilir Citarum seiring bergulirnya perjalanan sejarah kemerdekaan bangsa. “Tiga bulan sekali bisa dipastikan udang mabuk dan mati di Citarum,” ujar sejumlah warga Desa Tanjungbungin, Karawang dan Jayasakti, Kabupaten Bekasi, 10 kilometer sebelum muara Citarum di Laut Jawa. Kedua desa di dua kabupaten ini terpisah oleh Sungai Citarum selebar 200-an meter.
“Jika air Citarum dimasukan ke tambak, hanya ikan bandeng yang bertahan. Semua jenis udang alam, seperti udang bago dan udang peci tak tahan oleh kotornya air Citarum. Padahal udang liar ini merupakan tambahan penghasilan bagi petambak,” ujar Tarman (48), petambak bandeng di Desa Tanjungpakis Kecamatan Pakisjaya, Karawang, sekitar 10 kilometer dari Laut Jawa.
Air tawar Sungai Citarum diperlukan untuk mengurangi keasinan air tambak menjadi payau sehingga kondusif bagi tumbuhnya ikan bandeng. Akibat airnya tercemar kini puluhan ribu hektar di kawasan pesisir pantai utara Karawang dan Bekasi tidak dikelola optimal.
Di Desa Pantai Bahagia saja terdapat 3.000 hektar tambak, 1.000 hektar di antaranya rusak terkena abrasi. Areal tambak di kawasan muara Citarum terdapat di lima desa dalam Kecamatan Muaragembong, Kabupaten Bekasi dan empat desa di Kecamatan Pakisjaya, Karawang Pencemaran Citarum di sekitar muara, telah menyempurnakan persoalan pesisir pantai utara. Di wilayah pesisir utara Jawa Barat, kerusakan meliputi hutan bakau, abrasi pantai serta pendangkalan muara sungai yang berdampak pada aktivitas lalu lintas perahu.
Di tengah hebatnya eksploitasi Sungai Citarum, perusakan sungai ini tak kalah dahsyat dan dibiarkan terus berlangsung. Seandainya Citarum itu manusia barangkali ia akan berkata, “Sungguh kalian itu bangsa yang tak beradab!”
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.