“Tahun 2009 pernah seluruh ikan mati dan mengambang di sungai dan ribuan penduduk berbondong-bondong turun ke Citarum,” ungkap Suryana (35), Sekretaris Desa Pantai Bahagia Kecamatan Muara Gembong Kabupaten Bekasi, 5 kilometer dari muara sungai Citarum. Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan mengakui, di balik perannya yang strategis, Citarum selain dihadapkan pada pencemaran, seringkali menyebabkan banjir di musim hujan terutama di Bandung Selatan. Namun tahun 2010, banjir juga melanda Purwakarta dan Kota Karawang. Luas daerah aliran Citarum (DAS) tercatat 6.614 kilometer persegi yang dihuni 15,3 juta penduduk.
Instansi yang khusus menangani Sungai Citarum adalah Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) di bawah Kementerian PU. Namun BBWS lebih ke pemeliharaan sungai seperti mengeruk lumpur sedimentasi untuk mengurangi genangan banjir di Bandung Selatan. Tahap pertama 1994-1999, proyek BBWS mengeruk 2-3 juta meter kubik dan tahap kedua 1999-2008 juga mengeruk 2-3 juta meter kubik.
“Padahal Citarum mengalirkan sedimen sekitar 10 juta meter kubik pertahun,” ujar Anang Sudarna, Staf Ahli Gubernur Jawa Barat. Sebanyak 4,1 juta meter kubik lumpur dan sampah itu masuk Waduk Saguling. Namun hingga kini tidak ada instansi atau pihak yang menangani perusakan dan pencemaran Citarum. “Selama Citarum masih berair walaupun tercemar hebat, itu dianggap biasa,” sindir guru besar lingkungan Institut Teknologi Bandung, Mubyar Purwasasmita.
Menurut data Perum Perhutani Unit III Jabar-Banten, di DAS Citarum terdapat 158.174 hektar hutan negara (22 persen), 137.298 hektar hutan Perhutani (19 persen), Kesatuan Pemangkuan Hutan Bandung Selatan 55.446 hektar (8 persen) dan tanah milik masyarakat 560.094 hektar. Dari semua itu lahan konservasinya hanya tiga persen.
“Sekarang banyak lahan hutan yang sudah tidak ada pohonnya,” ungkap Sobirin, anggota Dewan Pemerhati Kawasan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS). DPKLTS yang menggeluti soal lingkungan dipimpin, mantan Sekretaris Pengedalian Operasi Pembangunan (Sekdalopbang), Solihin GP.
Ahli lingkungan dari Pusat Penelitian Sumber Daya Alam dan Lingkungan Universitas Padjadjaran Erri Megantara mengungkapkan, tercemarnya Sungai Citarum membuat fungsi yang dimilikinya makin kecil bahkan tidak ada. Jika airnya dimanfaatkan, misalnya bisa menyebabkan gatal.
Sejumlah perguruan tinggi, aktivis lingkungan dan para pihak yang peduli Citarum sudah berkali-kali melaporkan soal ini, tapi tidak ada yang dengar. Citarum dibiarkan rusak karena terus dijadikan tempat pembuangan berbagai limbah oleh semua lapisan masyarakat termasuk industri, rumah sakit, dan penduduk.
"Padahal untuk pertanian juga tidak baik, apalagi bila air tersebut mengandung logam berat, terlebih lagi untuk perikanan karena bisa mengurangi kualitas ikan," tutur Erri.
Malah di hilir, kini usaha tambak udang sudah lama gulung tikar karena air Citarum mematikan udang. “Tidak hanya udang windu, udang alam pun seperti udang bago dan udang peci, langsung mati bila dialiri air Citarum,” ungkap Tarman (48) petani di Desa Tanjungpakis, Kabupaten Karawang.
Di kawasan hilir Citarum yang masuk wilayah Kabupaten Karawang dan Bekasi terdapat puluhan ribu tambak. Ikan budi daya yang bisa bertahan terhadap air tercemar racun kimia itu hanyalah bandeng.
Ikan-ikan itu dipasarkan oleh petambak ke Kalibaru dan Cilincing, Jakarta Utara untuk kebutuhan konsumsi warga Jakarta dan sekitarnya. Asisten analis hidrologi Badan Pengelola Waduk Cirata Tuarso menyarankan, jika memakan ikan sebaiknya tidak makan kepalanya. (REK/CHE/DMU)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.