JAKARTA, KOMPAS.com — Dugaan kecurangan dalam pelaksanaan ujian nasional (UN) 2011 tak hanya terjadi di Surabaya. Beberapa hari ini, publik dikagetkan dengan pengakuan Siami, ibunda siswa SD II Gadel, Tandes, Surabaya, yang mengungkapkan bahwa anaknya dipaksa untuk memberikan contekan kepada teman-temannya saat ujian.
Di Jakarta, dugaan yang sama juga dilaporkan terjadi. Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) menerima laporan dari orangtua siswa SD 06 Petang, Pesanggrahan, Jakarta Selatan. Ketua Komnas PA, Arist Merdeka Sirait, yang dihubungi Kompas.com, Rabu (15/6/2011), mengungkapkan kronologi terjadinya "nyontek" massal itu.
"Dua hari sebelum UN, sekitar pertengahan Mei, anak peserta UN di SD 06 Petang Pesanggrahan dikumpulkan oleh guru untuk membuat sebuah deklarasi dan kesepakatan tertulis membagikan jawaban," kata Arist.
Ia menjelaskan, siswa yang dikumpulkan adalah mereka yang ranking 1 sampai dengan ranking 10 dan dibagi ke dalam beberapa kelompok. "Anak-anak itu bertanggung jawab memberikan jawaban kepada siswa lain yang rankingnya di bawah mereka. Aksi ini sebenarnya diorganisir dan diketahui oleh kepala sekolah karena memberikan kesepakatan tertulis," ujarnya.
Saat hari pertama UN, menurut laporan yang diterima Komnas PA, kecurangan itu berlangsung. Namun dalam perjalanan pulang, MAP (salah seorang siswa SD 06 Petang Pesanggrahan) yang sehari-hari diantar jemput oleh orangtuanya mengalami sesak napas. Ketika ditanya oleh orangtuanya, Irma, MAP tidak bersedia menceritakan kepada ibunya tentang apa yang terjadi dan membuatnya sampai sesak napas.
"Aku enggak bisa cerita karena ada kesepakatan tertulis untuk tidak menceritakan apa yang terjadi. Itulah yang dikatakan MAP kepada ibunya dalam perjalanan pulang dari sekolah," kata Arist.
Sang ibu, lanjut Arist, kemudian menanyakan apa yang menimpa anaknya kepada pihak sekolah. Saat itu, Irma tidak mendapatkan penjelasan apa-apa dari sekolah. Pada hari kedua pelaksanaan UN, MAP sepakat untuk tidak memberikan jawaban kepada siapa pun. Atas tindakannya ini, MAP mendapatkan ancaman dari teman-temannya.
"MAP diancam oleh teman-temannya mengapa tidak memberikan jawaban. Ia pun ketakutan, kemudian ia bercerita dan mengadukan tentang apa yang terjadi kepada ibunya. Saat itu juga, Irma mengonfirmasikannya ke sekolah, namun kepala sekolah menyangkalnya," katanya.
Hingga memasuki hari ketiga pelaksanaan ujian, sambung Arist, ada guru yang mengakui adanya kecurangan massal saat UN. Guru itu juga mengaku ikut mengirimkan kunci jawaban melalui pesan singkat (SMS).
"Tanggal 16 Mei, Irma mengadukan peristiwa tersebut ke KPA. Saat itu sebenarnya kami juga memanggil guru, kepala sekolah, dan kepala suku dinas (kasudin) Jakarta Selatan. Tetapi mereka tidak hadir," papar Arist.