Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketika APBN Terkoyak Korupsi

Kompas.com - 01/07/2011, 03:54 WIB

Oleh Andi Suruji

Anggaran negara terkesan lebih bertujuan populis ketimbang alat pemacu produktivitas ekonomi. Kesan itu setidaknya jika APBN ditilik dari subsidi yang besar dan utang menumpuk.

Pemerintah seolah terjebak pada politik anggaran populis dengan menebar subsidi demi stabilitas politik ketimbang menggelontorkan dana ke sektor yang menunjang rakyat berproduksi lebih tinggi.

Menteri Keuangan Agus Martowardojo menyatakan, untuk mengefektifkan setiap anggaran diterapkan sistem anggaran berbasis kinerja. Kementerian dan lembaga yang tidak berkinerja baik dikenakan penalti, semisal pengurangan anggaran tahun berikutnya. Politik anggaran diarahkan pada output (kuantitatif) dan outcome (kualitatif). Terkait kuantitatif semisal berapa panjang jalan dan pelabuhan yang terbangun, sementara yang kualitatif seperti pengurangan kemiskinan dan pengangguran.

APBN tahun ini mencapai Rp 1.230 triliun, meningkat dua kali lipat lebih dari enam tahun silam. Utang pun membengkak dari sekitar Rp 1.200 triliun pada 2004 menjadi Rp 1.500 triliun saat ini. Utang ini untuk membiayai defisit anggaran.

”Pembiayaan terhadap defisit (utang) seharusnya berdasarkan program produktif sehingga menghasilkan manfaat sosial dan ekonomi lebih besar dari tiap utang negara yang timbul akibat defisit. Tidak seperti sekarang, pembiayaan defisit APBN bersifat gelondongan. Kita tidak dapat mengukur untuk program apa, di mana, lembaga/kementerian mana?” ujar Arif Budimanta, anggota DPR dari Komisi XI yang antara lain membidangi keuangan.

Ironisnya, pembengkakan total anggaran tersebut justru seperti membuka pintu lebar-lebar untuk korupsi beramai-ramai. Kasus penilepan pajak adalah bukti tak surutnya korupsi pada sisi anggaran pendapatan negara. Bergentayangannya calo-calo anggaran bukti penggerogotan di sisi belanja.

”Pendeknya, penggerogotan anggaran itu mulai dari biro-biro perencanaan anggaran di masing-masing kementerian dan daerah, Bappenas, Kementerian Keuangan, sampai DPR,” ujar Dradjad H Wibowo, Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional dan mantan anggota Komisi XI dan Wakil Ketua Fraksi PAN.

Salah satu cara memangkas persekongkolan penggerogotan anggaran adalah pembahasan yang tidak sampai satuan tiga, atau pembahasan mata anggaran yang lebih detail. Di situlah terjadinya persekongkolan ramai-ramai, juga melibatkan oknum anggota DPR. Kalangan DPR sangat ”kuat” dalam proses penyusunan anggaran karena memiliki hak budget dan keterlibatan mereka yang dalam dan luas karena diatur undang-undang pula.

”Kalangan DPR beralasan, kalau pembahasan tidak sampai satuan tiga, korupsi di eksekutif gila-gilaan. Nyatanya ketika sampai satuan tiga, DPR pun ikut menggerogoti anggaran,” papar Dradjad.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com