Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Contek Massal Vs Eksistensi BSNP

Kompas.com - 02/07/2011, 02:45 WIB

 Hafid Abbas

Kasus contek massal dalam pelaksanaan ujian nasional di SD Negeri Gadel II, Tandes, Surabaya, beberapa waktu lalu, masih menyisakan banyak persoalan.

Meski Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh telah mengklarifikasi bahwa hasil pengamatan lapangan menunjukkan tak cukup bukti adanya contek massal, simpati publik kepada Nyonya Siami yang mengungkap kejadian itu seakan tak terbendung. Bahkan, di jejaring sosial kini muncul gerakan sejuta simpatisan buat Siami.

Kelihatannya, kasus contek massal dan kebocoran soal telah terjadi berulang kali di banyak wilayah di Tanah Air. Bahkan, kasus contek massal juga diduga terjadi di DKI Jakarta.

Jika kasus seperti ini dibiarkan, akan menjalar bagai virus berbahaya yang melumpuhkan sendi-sendi pembangunan karakter bangsa pada masa depan. Lalu, bagaimana peran Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) sebagai lembaga paling bertanggung jawab atas standardisasi, pengendalian, dan penjaminan mutu pendidikan nasional?

Akar masalah

Kebijakan pelaksanaan ujian nasional yang dilakukan selama ini sulit terbebas dari berbagai bentuk kebocoran dan pencontekan massal. Penyebabnya, pertama, sampai saat ini 88,8 persen sekolah di Indonesia—mulai SD hingga SMA/SMK—masih belum melewati mutu standar pelayanan minimal. Berdasarkan data yang ada, 40,31 persen dari 201.557 sekolah di Indonesia di bawah standar pelayanan minimal, 48,89 persen pada posisi standar pelayanan minimal, hanya 10,15 persen yang memenuhi standar nasional pendidikan, dan 0,65 persen rintisan sekolah bertaraf internasional.

Jika digunakan logika sederhana, hanya sekitar 10,80 persen sekolah yang sudah melewati persyaratan minimal diukur dari standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, serta penilaian pendidikan, semestinya hanya sekitar 11 persen jumlah sekolah yang dapat meraih tingkat kelulusan hingga 100 persen, 49 persen tingkat kelulusan pada kisaran 55 persen, dan 40 persen lagi di bawah batas kelulusan.

Jika suatu sekolah berada jauh di bawah standar minimal, misalnya tak punya guru yang memenuhi kualifikasi, tak punya perpustakaan, proses belajar-mengajarnya belum berjalan normal, lalu tiba-tiba siswanya lulus 100 persen, dapat diduga di sekolah itu pasti terjadi penyimpangan. Dalam hukum acara pidana, suatu kasus kejahatan dapat dengan mudah diungkap jika digunakan asas pembuktian terbalik.

Penyebab kedua adalah adanya tekanan sosial yang bersifat hierarkis. Guru sering kali merasa terancam oleh kepala sekolah apabila target tingkat kelulusan tak tercapai. Demikian seterusnya, kepala sekolah terancam dimutasi oleh dinas pendidikan apabila persentase kelulusan rendah dan kepala dinas terancam diganti oleh bupati dan wali kota jika target kelulusan tak meningkat. Akibatnya, secara psikologis, mereka yang merasa terancam karena tak mampu capai target dapat saja melakukan berbagai bentuk penyimpangan, termasuk kemungkinan memperbolehkan praktik contek massal.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com