Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Contek Massal Vs Eksistensi BSNP

Kompas.com - 02/07/2011, 02:45 WIB

Keadaan ini diperkuat redupnya orientasi mutu dan kontrol sosial para orangtua dan masyarakat. Tak pernah terdengar ada kasus pengaduan orangtua ke satu sekolah atau dinas pendidikan, misalnya mempertanyakan nilai ujian anaknya 9 untuk pelajaran Bahasa Inggris, padahal sang anak sama sekali tak bisa bahasa Inggris.

Itulah sebabnya ketika Siami mengungkap kasus contek massal, spontan dia mendapat kecaman dan dikucilkan dari masyarakat sekitar karena ia dinilai mengungkap aib sendiri yang selama ini ditutup-tutupi.

Jika mata rantai persoalan ini tidak segera dibenahi, dunia pendidikan kita akan mengalami pelapukan dari dalam, yang hanya akan melahirkan generasi lemah, membawa keterpurukan bangsa di masa depan. Anggaran pelaksanaan ujian nasional yang mendekati Rp 600 miliar setahun kelihatannya cukup signifikan untuk membenahi mata rantai persoalan tersebut.

Amanat UU Sisdiknas

Jika dikaji amanat yang terkandung pada Pasal 35 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), institusi yang paling bertanggung jawab atas segala hal terkait penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan nasional adalah BSNP. Namun, kelihatannya keberadaan BSNP saat ini amat berbeda dan menyimpang dari tuntutan undang-undang.

Pengalaman di sejumlah negara menunjukkan, kendali mutu pendidikan nasional sangat bergantung pada kemandirian dan profesionalisme badan standardisasi atau lembaga pengujiannya. Lembaga seperti ini di Malaysia dikenal dengan nama Lembaga Peperiksaan Malaysia (Malaysian Examination Syndicate/MES); di Inggris disebut Cambridge Local Examination Syndicate atau Oxford Delegacy of Local Examination; dan di Hongkong, Hong Kong Examination and Assessment Authority.

Lembaga-lembaga ini benar- benar mandiri, menghimpun para ahli dan praktisi dari semua bidang keilmuan dan studi di semua jenjang, jenis, dan jalur pendidikan. Mereka yang menyiapkan naskah ujian, menentukan standar, serta mengolah semua proses pelaksanaan ujian dan memberikan pengakuan.

Dengan gambaran tersebut, terlihat eksistensi BSNP saat ini kelihatannya tidak lazim. Amat berbeda dibandingkan pengalaman bangsa-bangsa lain dalam mengembangkan standardisasi pendidikan. Bahkan, keanggotaan BSNP periode lalu dan saat ini kelihatannya secara keseluruhan adalah tokoh-tokoh dan pakar di bidang masing-masing yang sama sekali tak diragukan kapasitasnya, tapi perannya lebih terkesan sebagai ”lembaga pemikir”.

Terlepas dari keberadaan BSNP saat ini, sesuai atau tidak dengan amanat UU, kelihatannya perlu dilakukan kategorisasi kelulusan. Jika potret standardisasi mutu pendidikan nasional masih berkisar 40,31 persen di bawah standar minimal, 48,89 persen pada posisi standar minimal, dan hanya 10,80 persen yang telah memenuhi standar minimal, cukup rasional jika ada siswa yang lulus dengan kategori A yang mungkin jumlahnya berkisar 11 persen, 49 persen lulus dengan kategori B, dan 40 persen lainnya dengan kategori C. Mereka yang ada di kategori B dan C dapat diprioritaskan ke jalur vokasional sesuai bakat dan pilihannya untuk memasuki dunia kerja.

Dengan kategorisasi seperti itu, diharapkan muncul kompetisi antarsiswa, antarsekolah, bahkan antarkabupaten/kota dan provinsi. Singapura, sekitar 20 tahun lalu, kualitas lulusannya juga rendah. Anak-anak yang mencapai kategori A atau lulus excellent dengan standar Cambridge hanya berkisar 10 persen. Namun, setiap tahun, mereka yang lulus kategori A makin meningkat. Sekarang mutu pendidikan mereka termasuk yang terbaik di dunia.

Akhirnya, semoga dalam waktu dekat BSNP dapat berperan lebih maksimal mengangkat standar mutu pendidikan kita demi harga diri bangsa dan hari depan kita bersama.

Hafid Abbas Guru Besar UNJ; Konsultan UNESCO Wilayah Asia dan Pasifik

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com