Putusan MA yang bertolak belakang antara putusan dalam kasus perdata dan pidana dalam kasus Prita, jika dilihat dari sudut pandang studi-studi hukum kritis (critical legal studies) yang diperkenalkan oleh Roberto M Unger, menunjukkan bahwa di negeri ini tatanan hukum telah mendukung secara sistematis kesenjangan antara yang berkuasa dan yang lemah.
Tatanan hukum di tangan para penegak hukum hanya menjadi apa yang dalam bahasa Perancis disebut sebagai bouche de la loi (terompet undang-undang belaka) sehingga mementahkan rasa keadilan berdasarkan hukum progresif. Padahal, hal ini pernah dirasakan Prita melalui putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Tangerang yang memutus bebas Prita dari tuntutan jaksa.
Hukum progresif tidak semata-mata berkaca dari bunyi norma yang tertulis dalam teks undang-undang, tetapi secara responsif mampu menangkap keadilan substantif yang mencerminkan rasa keadilan sosial (social justice).
Saat sekian banyak koruptor bisa lari dan malah memperkuda hukum, hukuman terhadap Prita kembali membuktikan fungsi yudikatif yang sekadar menjadi terompet undang-undang tersebut. Siapakah Prita—ibu rumah tangga yang hanya mengeluhkah buruknya pelayanan sebuah RS—dibandingkan dengan para koruptor kakap yang siap menyuap dengan timbunan uang? Jangan-jangan ada sederet Prita lain yang dikriminalisasi untuk perkara-perkara kecil.