Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sarmini, TKI yang Sarjana dari Malaysia

Kompas.com - 18/07/2011, 01:48 WIB

Gregorius Magnus Finesso

Di tengah cerita duka nestapa nasib buruk yang menimpa para tenaga kerja migran kita, Sarmini (28) memberi angin sejuk. Berkat tekad, semangat, rajin belajar di sela-sela kerja keras di rumah majikan, dan ketekunannya, ia pulang dari Malaysia dengan menggondol gelar sarjana muda. Kini ia ditawari bekerja di Pemerintah Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.

Penuh percaya diri, perempuan asal Desa Adisana, Kecamatan Kebasen, itu Selasa (5/7) lalu, menyalami satu per satu pejabat Pemerintah Kabupaten Banyumas saat diundang secara khusus di rumah dinas Bupati Banyumas Mardjoko. Senyumnya terus mengembang. Meski namanya telah menjadi buah bibir di berbagai media nasional dan Malaysia, ia tak tampak jemawa sedikit pun.

”Saya harus bersyukur kepada Tuhan dan berterima kasih, terutama kepada majikan saya di Malaysia, untuk kesempatan belajar yang telah diberikan. Gelar ini membuktikan, tak semua TKI bernasib buruk di negeri orang,” tutur anak pasangan Sakim Muhyadi (56) dan Katem (45) ini dengan logat khas Melayu-Inggris.

Betapa membanggakan. Pada saat sebagian TKI mendapat perlakuan buruk dari majikannya, bahkan sampai dihukum mati di tanah orang, Sarmini berhasil menyelesaikan kuliah Diploma Pengurusan (setara D-3 manajemen di Indonesia) di Open University Malaysia (OUM) dengan indeks prestasi kumulatif 3,39, setelah tujuh tahun merantau.

Lulusan SMK Mpu Tantular Kemranjen ini awalnya pergi ke Malaysia pada 2004. Sebelum menjadi TKI, ia telah mengantongi ijazah D-2 Program Studi Dammacariya dari Sekolah Tinggi Agama Buddha Syailendra di Kota Semarang, Jawa Tengah. Ia kuliah sejak tahun 2001, tetapi keinginan kuat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi terpaksa diurungkan karena orangtuanya tak memiliki biaya.

”Saya lalu pergi ke Jakarta untuk mencari kerja, tetapi tidak dapat. Dalam benak saya, sekolah butuh uang. Jadilah saya ke Malaysia dengan niat mengumpulkan modal agar bisa sekolah lagi,” kenang Sarmini.

Pada tahun-tahun awal di Malaysia, ia mengaku tidak betah. Namun, karena keinginan bulat untuk menabung, Sarmini pun bertahan. Di negeri itu, ia bekerja pada keluarga Tan Choo Tang (56) dan Wee Pooi Khuan (47) di Damansatara Utama, Selangor.

Sesuai rencana awal, pada tahun ketiga, perempuan kelahiran Banyumas, 18 Juni 1983, itu meminta izin untuk pulang ke Indonesia dengan tujuan melanjutkan kuliah dengan gaji yang telah ditabungnya. Namun, sang majikan ternyata tidak mengizinkan.

Tan Choo Tang yang berprofesi sebagai pengajar di salah satu perguruan tinggi swasta Malaysia khawatir uang Sarmini tidak cukup untuk biaya kuliah di Indonesia. ”Majikan malah menawari saya untuk kuliah di Malaysia dan menanggung lebih dari separuh biaya kuliah yang mencapai 1.000 ringgit (sekitar Rp 28 juta),” katanya.

Setelah berpikir matang-matang, Sarmini menerima tawaran berkuliah di OUM (Universitas Terbuka Malaysia). Dengan bantuan biaya dari majikannya ditambah tabungan hasil menyisihkan upahnya selama menjadi pembantu rumah tangga, Sarmini berjuang mewujudkan cita-citanya.

Pada awalnya, Sarmini merasa sangat sulit menerima materi kuliah karena bahasa pengantar yang digunakan adalah bahasa Inggris. Namun, ia tak patah semangat. Perempuan yang bercita-cita menjadi guru itu lalu membiasakan diri berkomunikasi dalam bahasa Inggris dengan majikan dan anak-anak majikannya. Lambat laun, akhirnya ia pun fasih melafalkan dan menulis dalam bahasa Inggris.

Belajar sambil bekerja tentu saja tidak mudah, tetapi ia tetap tak mau mengecewakan majikan yang sudah begitu baik. Pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga dikerjakannya dengan senang hati. Untuk itu, Sarmini memilih belajar setelah pekerjaan selesai sekitar pukul 21.00. Ia juga memanfaatkan waktu pagi hari setelah anak-anak majikannya berangkat sekolah untuk belajar.

Tawaran Pak Bupati

Sarmini memang beruntung. Majikannya sangat baik dan membantu berbagai keperluannya kuliah. Semua alat tulis, komputer, dan kertas yang dibutuhkan untuk kepentingan kuliah disediakan. Bahkan, Sarmini sudah dianggap keluarga.

Awal Juli ini, setelah diwisuda di Putra World Trade Center, Kuala Lumpur, Sarmini kembali ke tanah kelahirannya. Sakim Muhyadi (56) mengaku sangat bangga atas keberhasilan anak sulungnya tersebut. ”Kerjaan saya yang hanya serabutan tak mematahkan semangatnya belajar,” tutur Sakim dengan mata berkaca-kaca.

Dalam acara tatap muka di rumah dinasnya, Bupati Mardjoko bahkan menawarkan pekerjaan untuk Sarmini di lingkungan pemerintahan daerah, khususnya di Kecamatan Kebasen. ”Ini bentuk apresiasi Pemkab Banyumas atas kegigihan Sarmini yang bekerja sebagai TKI untuk mendapat biaya agar bisa melanjutkan kuliah. Apa yang dilakukannya sungguh tak mudah,” katanya.

Untuk diketahui, Malaysia memang tujuan favorit TKI asal Banyumas. Data Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi Banyumas menyebutkan, TKI yang berangkat ke Malaysia tahun 2008 mencapai 858 orang, atau 30 persen dari total TKI yang diberangkatkan sekitar 2.659 orang.

”Kami tetap mengarahkan supaya pekerja nonformal dibekali bahasa asing dan pemahaman budaya negara tujuan yang memadai. Ini menekan risiko perlakuan buruk majikan,” ujar Kepala Seksi Penempatan Tenaga Kerja di Luar Negeri Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi Banyumas Agus Widodo.

Kisah sukses Sarmini ini barangkali menjadi penting di tengah gencarnya pemberitaan media tentang nasib buruk TKI.

Majikan yang baik memang membantu mereka menyelesaikan kuliah, tetapi pada akhirnya, peruntungan seseorang tetap ditentukan oleh karakter individu, seperti perilaku baik, tekad kuat, ketekunan, keuletan, dan kerja keras. Dan, Sarmini membuktikan itu....

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com