Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tiga Menteri Pendidikan?

Kompas.com - 20/10/2011, 02:10 WIB

Tak memacu kerja

Sejak dimunculkan dalam Kabinet Indonesia Bersatu II, posisi wakil menteri pendidikan terbukti tak memacu kerja kementerian dalam penyelesaian langsung aneka persoalan. Ribuan ruang kelas masih hancur. Program wajib belajar sembilan tahun tidak tercapai. Angka buta aksara tinggi. Hasil evaluasi atas ujian nasional tidak jelas. Segregasi sosial terus terjadi melalui (rintisan) sekolah berstandar internasional. Program sertifikasi dan pendidikan profesi guru karut-marut. Banyak sekolah swasta sekarat. Guru honorer tak dipedulikan.

Jadi, anggaran kian memadai dan individu-individu yang menduduki posisi menteri dan wakil menteri pendidikan tak diragukan dedikasi dan kapabilitasnya. Namun, hak dasar rakyat atas layanan pendidikan bermutu yang diamanatkan konstitusi tidak juga segera terpenuhi.

Ada faktor kepemimpinan dan koordinasi yang tak berjalan semestinya dalam dua tahun keberadaan posisi wakil menteri pendidikan selama ini. Oleh karena itu, lebih baik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memperjelas arah pembangunan pendidikan dan menegaskan visi kepemimpinan sehingga rincian beban kerja dan peta persoalan pendidikan menjadi gamblang.

Optimalkan fungsi para direktur dan direktur jenderal pendidikan! Pejabat Kementerian Pendidikan perlu diwajibkan untuk lebih sering turun ke daerah guna memperbaiki koordinasi dengan dinas-dinas pendidikan. Sebagaimana diungkapkan filsuf sosial Jeremy Rifkin, sinergi adalah kunci kemangkusan kerja.

Tanpa itu semua, penambahan posisi wakil menteri hanya membenarkan anggapan bahwa pucuk pemimpin—yaitu presiden—mau menghindar dari tanggung jawab langsung atas konsekuensi kebijakan strategis dan implementasinya!

Pendidikan dan Kebudayaan

Momentum penting dari perubahan nomenklatur Kementerian Pendidikan saat ini adalah disatukannya kembali bidang pendidikan dan kebudayaan. Perubahan tersebut diharapkan mengembalikan pendidikan Indonesia kepada roh kebudayaan.

Meskipun demikian, perubahan nomenklatur tak akan bermakna substansial jika kebudayaan diartikan sebatas hasil kreasi manusia, material culture atau immaterial culture, misalnya manifestasi karya seni atau warisan masa lalu. Kebudayaan harus diartikan sebagai cara berpikir atau paradigma dari proses kita menjadi manusia Indonesia. Ia pencarian identitas yang dinamis dan kontekstual tanpa mengabaikan masa lalu.

Pendidikan yang be-roh-kan kebudayaan berarti pendewasaan anak didik yang menghargai perkembangan setiap individu, cura personalis, dalam bingkai pewujudan kebaikan hidup bersama, bonum commune. Jika paradigma kebudayaan menjiwai pendidikan, anak didik tidak dipandang sebagai capaian skor atau nilai ujian; sekolah bukan lagi seperangkat kurikulum atau sederet ruang kelas dan meja belajar.

Status perkembangan anak didik tidak ditentukan oleh kemampuan orangtuanya membayar uang sekolah, tetapi dari kemampuan anak tersebut merefleksikan pengalaman hidup. Pendidikan yang be-roh-kan kebudayaan meletakkan hubungan antara pendidik dan terdidik dalam napas perjumpaan dialogis yang saling peduli.

Perubahan nomenklatur Kementerian Pendidikan akan menjadi momentum reformasi pendidikan Indonesia jika kebudayaan dimaknai dalam tataran filsafati, bukan dalam semangat untuk sekadar ”menjual” warisan masa lalu melalui institusi pendidikan. Penjabaran konsepsi kebijakan hulu menjadi hal krusial yang harus dilakukan.

Agus Suwignyo Pedagog cum Sejarawan Pendidikan, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com