BALI, KOMPAS.com - Dewasa ini konsep green architecture atau disebut arsitektur hijau terus menggema. Konsep ini seolah menjadi tren, padahal nenek moyang kita telah mewariskannya dalam wujud bangunan dan komunitasnya.
Belajar arsitektur hijau warisan masa lampau yang memilih dekat kepada alam, setidaknya menjadi inti perjalanan para arsitek yang tergabung dalam Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Jakarta pada 27 - 29 Oktober 2011 lalu.
"Arsitektur hijau bukanlah suatu hal yang baru. Masyarakat di masa lampau telah melakukan pemikiran dan pemanfaatan serta bersahabat dengan lingkungan," kata ketua IAI Jakarta, Her Pramtama, Sabtu (29/10/2011) lalu, di Bali.
Perjalanan arsitektur kali ini, kata Pramtama, bertujuan untuk menggali atau napak tilas kembali arsitektur lampau yang prinsip-prinsip dasarnya disesuaikan dengan alam.
"Selama ini, banyak arsitek terpengaruh arus informasi perkembangan arsitektur kontemporer dan modern sehingga mempengaruhi gaya rancang seperti di luar," katanya.
Kuatnya pengaruh gaya arsitektur luar, lanjut Pramtama, berpengaruh besar pada rancangan para arsitek sehingga kerap mengabaikan semangat lokalitas.
"Bali, contohnya. Kini, arsitektur di sini terancam karena perkembangan properti dengan gaya arsitektur yang meminggirkan semangat lokalitas," tegasnya.
Kearifan lokal
Berdasarkan prinsip-prinsip kearifan lokal, perjalanan AIA kali ini bertujuan untuk memberikan pengalaman secara langsung kepada para arsitek dan pengembang, penyuplai material dan pengguna bangunan tentang arsitektur hijau. Beberapa obyek yang dikunjungi menerapkan pemanfaatan bambu, tanah liat, kayu, dan sumber daya alam dengan dasar kearifan lokal lingkungan tersebut.
Seperti yang dijumpai di Desa Bayung Gede, Kintamani, Bangli, yang merupakan salah satu desa adat di Bali, bangunan berarsitektur tradisional dengan material tiang dari kayu dan atap khas sirap bambu masih tetap dipertahankan. Penggunaan bambu menjadi dominan karena 40 persen luas desa di kawasan ini merupakan hutan bambu.
Pemakaian bambu juga diatur sedemikian rupa oleh adat agar tetap menjaga ekosistem desa. Dari sisi ekologis, hutan bambu berfungsi menahan erosi pada lahan desa yang miring. Kiranya, inilah kearifan lokal yang mestinya terjaga dan mengilhami para arsitek Indonesia ke depan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.