Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jangan Sia-siakan Bonus Demografi

Kompas.com - 25/11/2011, 03:38 WIB

Ketika duduk di bangku sekolah menengah kejuruan bagian administrasi, Tria (21) bermimpi bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Namun, penghasilan tidak tetap ayahnya membuat warga Kelurahan Bintaro, Jakarta Selatan, ini mengandaskan mimpinya.

Tria kini bekerja menjaga toko mebel di kawasan Senayan, Jakarta. Untuk kerja delapan jam sehari dan libur sekali seminggu, dia menerima upah Rp 900.000 per bulan, jauh lebih rendah dari upah minumum 2011 Jakarta yang Rp 1,29 juta. ”Daripada nganggur di rumah,” kata Tria.

Dia adalah bagian dari 120 juta orang angkatan kerja Indonesia saat ini. Hanya karena tak punya banyak pilihan, pekerjaan itu dia ambil.

Dalam hitungan ekonomi nasional, penduduk usia muda 15-29 tahun yang bekerja adalah pendongkrak peningkatan pendapatan per kapita. Mereka menjadi bagian transisi demografi Indonesia karena perubahan struktur umur penduduk dan jenis kelamin akibat menurunnya angka kelahiran dan angka kematian bayi, serta meningkatnya usia harapan hidup terus-menerus dalam 30 tahun terakhir.

Meneropong Indonesia 2025, salah satu keuntungan negeri ini adalah bonus demografi (demographic dividend) karena perubahan struktur umur penduduk dan menurunnya rasio ketergantung berdasarkan umur (age dependency ratio), yaitu perbandingan antara jumlah penduduk anak-anak (di bawah usia 15 tahun) dan penduduk lansia (di atas 65 tahun) terhadap populasi usia kerja (15-64 tahun).

Jendela peluang

Besarnya populasi usia kerja tersebut merupakan pemicu pertumbuhan ekonomi. Pengurangan jumlah anak meningkatkan pendapatan per kapita, sementara besarnya jumlah penduduk usia kerja mendorong peningkatan pendapatan per kapita.

Peningkatan usia harapan hidup juga meningkatkan pendapatan per kapita meski kemudian meningkatnya jumlah lansia menurunkan pendapatan tersebut.

Banyak negara menjadi kaya karena berhasil memanfaatkan jendela peluang bonus demografinya untuk melentingkan kemampuan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Akan tetapi, kemudian ledakan jumlah lansia, seperti di Jepang dan Eropa barat, membengkakkan biaya jaminan sosial, terutama pensiun.

Biaya itu harus dipikul penduduk usia kerja, antara lain, melalui pajak. Akibatnya, pendapatan per kapita menurun, begitu pula kesempatan menabung.

Di Indonesia, pada tahun 1971 setiap 86 anak ditanggung 100 pekerja dan pada 2010 rata-rata 51 anak ditanggung 100 pekerja. Bila keadaan ini terus berlanjut, pada 2020-2030 akan terbuka jendela peluang (window of opportunity) saat angka ketergantungan mencapai titik terendah, yaitu hanya 44 anak ditanggung tiap 100 pekerja. Setelah 2030, jendela peluang akan menyempit karena meningkatnya jumlah lansia sehingga angka ketergantungn naik di atas 50.

”Jendela peluang hanya terjadi sekali dalam sejarah suatu penduduk. Karena itu, Indonesia harus dapat memanfaatkannya sebaik-baiknya untuk membantu pertumbuhan ekonomi,” kata Prof Sri Moertiningsih Adioetomo dalam diskusi panel Kompas.

Bonus demografi menjadi dasar meningkatkan produktivitas dan memicu pertumbuhan ekonomi melalui pemanfaatan sumber daya manusia. Saat tingkat fertilitas (jumlah kelahiran sepanjang hidup perempuan) turun, pertumbuhan pendapatan per kapita untuk memenuhi kebutuhan dasar penduduk usia anak-anak dapat dialihkan untuk peningkatan mutu manusia sebagai modal pembangunan. Pada saat yang sama, jumlah anak yang sedikit memberi perempuan peluang masuk pasar kerja sehingga meningkatkan tabungan keluarga.

Tantangan

Untuk meraih keuntungan bonus demografi, ada empat prasyarat yang harus dipenuhi. Pertama, penduduk usia muda yang meledak jumlahnya itu harus mempunyai pekerjaan produktif dan bisa menabung.

Penghitungan Badan Pusat Statistik bahwa seseorang dianggap bekerja bila bekerja satu jam seminggu tanpa putus, tidak menggambarkan produktivitas yang tinggi.

Kedua, tabungan rumah tangga dapat diinvestasikan untuk menciptakan lapangan kerja produktif.

Ketiga, ada investasi untuk meningkatkan modal manusia agar dapat memanfaatkan momentum jendela peluang yang akan datang.

Keempat, menciptakan lingkungan yang memungkinkan perempuan masuk pasar kerja.

Data Sakernas 2010 yang diolah Moertiningsih memperlihatkan, sampai 2015 profil angkatan kerja Indonesia masih didominasi pekerja berpendidikan SD. Separuh dari 40 juta orang angkatan kerja muda (usia 14-29 tahun) telah masuk dalam pasar kerja dengan pendidikan rendah dan tanpa keterampilan.

Sebuah penelitian memperlihatkan, Indonesia krisis keterampilan. Separuh pekerja di industri elektronik menjadi operator dan perakit dengan nilai tambah hanya 3,1 persen dari seluruh subsektor industri manufaktur.

Penelitian tahun 2007 terhadap subsektor sama memperlihatkan, 20 persen pekerja diserap dalam pengoperasian mesin khusus dan umum, 15 persen sebagai prosesor, 15 persen sebagai pekerja biasa dan petugas kebersihan.

Yang berketerampilan dalam posisi pengelolaan kantor (manajerial) hanya 0,7 persen dan posisi profesional 0,6 persen (data mengacu pada Klasifikasi Baku Jenis Pekerjaan Indonesia).

Yang harus terus dilakukan adalah meningkatkan kualitas manusia. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia 2011 di bawah angka rata-rata kelompok negara dengan IPM menengah di mana Indonesia berada. Artinya, meski Indonesia sudah berada di jalur tepat, usaha itu masih harus ditingkatkan.

Negara sudah mewajibkan alokasi anggaran pendidikan 20 persen dari APBN, tetapi besarnya anggaran tidak akan membantu banyak bila tidak disertai kemampuan mengelola dan menggunakan anggaran secara tepat.

Saran untuk perbaikan kualitas manusia, antara lain, pendidikan keterampilan hidup harus terus diberikan kepada pekerja dengan keterampilan rendah yang sudah masuk pasar kerja. Selain itu, agar ketika menjadi lansia, mereka tetap mandiri.

Meneropong Indonesia 2025 adalah gambaran optimistis yang akan terwujud bila dan hanya bila pembangunan manusia berkualitas dilakukan sungguh-sungguh, bukan sekadar alokasi anggaran, apalagi bila anggaran itu pun dikorupsi.

(Ninuk Mardiana Pambudy)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com