Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jangan Berbohong untuk Pendidikan

Kompas.com - 25/11/2011, 10:26 WIB
*Sidharta Susila

KOMPAS.com - Pendidikan adalah titian niscaya untuk membangun kehidupan yang bermartabat. Ketika pendidikan diselenggarakan dengan kepura-puraan, manipulasi, bahkan kebohongan, tragedi kehidupan segera lahir.

Pendidikan adalah investasi jangka panjang. Buah dari ketekunan dan kesetiaan pada karya pendidikan tak selalu bisa segera dipetik. Menekuninya berarti meniscayakan pribadi pemuja kehidupan dengan visi hidup berkarakter dan kemampuan bertahan dalam pengharapan.

Kebalikannya, bagi kaum pragmatis-oportunis, pilihan bertekun dalam dunia pendidikan adalah kekonyolan, bahkan ketololan. Dalam roh pragmatis dan oportunis, keterlibatan mereka dalam dunia pendidikan pertama-tama dan utama demi kepentingan pribadi yang sesaat. Dinamika pendidikan seperti ini diwarnai kepura-puraan, manipulasi, dan kebohongan. Dunia pendidikan menjadi kendaraan untuk mencapai ambisi pribadi atau kelompoknya sendiri.

Dinamika pendidikan berjiwa pragmatis dan oportunis hanya melahirkan tragedi kehidupan. Pendidikan demikian tak menuntun manusia menuju hidup bermartabat. Di tangan kaum oportunis-pragmatis, pendidikan justru mengerdilkan dan menghasilkan generasi yang gagap menghadapi realitas kehidupan.

Realitas semacam itu baru saja penulis jumpai di Malawi, salah satu negara miskin di Afrika. Lebih menakjubkan, pendidikan di negara ini gratis.

Ada sebuah sekolah pendidikan guru berasrama—setaraf PGSD—milik pemerintah. Kebutuhan makan dan tempat tinggal peserta didik yang lebih dari 900 orang itu dipenuhi secara gratis.

Namun, kondisi sekolah itu memprihatinkan. Bangunan fisiknya kokoh, tetapi tak terawat. Perabot kelas berantakan. Lingkungan sekolah yang tak terawat itu tentu tidak mendukung pendidikan karakter. Kondisi sekolah-sekolah lain yang lebih rendah ternyata lebih parah. Kesan yang muncul, meski gratis, seolah-olah sekolah hanya tempat penampungan orang muda.

Pada realitas pendidikan semacam ini menyeruaklah beragam tanya: seriuskah negara menyelenggarakan pelayanan pendidikan bagi warganya? Ataukah sekolah gratis itu bagian dari permainan akal-akalan penguasa?

Pertanyaan terakhir menyeruak karena kebetulan saja sampai saat ini Malawi dalam kondisi politik dan ekonomi yang limbung. Aroma kemiskinan dan tindak koruptif menyengat di segenap penjuru negeri itu. Pengetahuan politik berbagai kelompok rakyat tentang pemimpin mereka beragam lagi kontras. Jurang kelompok kaya dan miskin teramat lebar.

Menghindari tragedi

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau