Gangguan kejiwaan
Perawat Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat, Winda Ratna Wulan, yang kini menyelesaikan tesis tentang bullying di Universitas Indonesia menuturkan, bullying adalah perilaku yang dirasakan baik secara verbal maupun nonverbal atau perilaku yang dirasakan oleh korban sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan. ”Misalnya digosipkan, diejek, dikucilkan, dibentak, didiskriminasi, dan diberi tugas di luar kewajaran,” kata Winda.
Winda menambahkan, sejumlah pakar mengategorikan kekerasan fisik sebagai bullying. Namun, kebanyakan tidak memasukkan kekerasan sebagai bentuk bullying. ”Bullying lebih merupakan tahapan yang terjadi sebelum kekerasan fisik, step awal dari kekerasan,” katanya.
Perilaku bullying disebabkan, antara lain, memang pelaku mengalami gangguan kejiwaan, seperti narsistis dan obsesif kompulsif. Selain itu, kadang pelaku merasa tidak mampu mengendalikan korban atau bisa juga dari karakter korban.
”Karakter yang umum di-bully ada dua. Yang pertama orang yang populer, supel, banyak disukai, dan pintar. Pokoknya, punya kelebihan dibandingkan orang lain. Yang kedua adalah karakter yang berbeda dari orang lain, misalnya kurang pandai, gemuk, pendek, dan tidak berdaya. Bisa juga kaum minoritas, yaitu yang dianggap berbeda, misal suku tertentu atau agama tertentu,” ungkapnya.
Di kalangan remaja yang tengah memasuki masa peralihan dari anak ke dewasa, dan pada tahap tersebut rata-rata remaja ingin diakui (masa pencarian identitas diri), aksi bullying dilakukan bisa karena merasa keren jika dia merasa memiliki power. ”Jadi, penggencetan, aksi bullying, dilakukan,” tuturnya.
Meski berdampak hebat, tidak mudah menghentikan perilaku bullying. Hal ini, antara lain, dikarenakan kadang korban merasa tidak sedang mendapat perlakuan bullying. Selain itu juga karena lingkungan masih menganggap bullying sebagai hal wajar.
”Pencegahannya bisa dilakukan melalui undang-undang yang ketat. Dukungan orang-orang di sekitar pelaku juga penting supaya hal tersebut tidak terjadi. Orangtua dan guru juga harus aware terhadap bullying,” ujar Winda.
Lebih dari itu, korban juga harus berani melapor apabila mengalami bullying. Korban juga perlu survive atas dirinya sendiri agar tidak terus-terusan menjadi korban. Semakin lemah, semakin ditindas. ”Butuh konselor untuk memulihkan yang sudah parah, tetapi bagus juga kalau dibentuk peers dari orang-orang yang menjadi korban sebagai pendukung,” kata Winda.
Dalam catatan akhir tahun yang dirilis Komnas PA, Ketua Umum Komnas PA Arist Merdeka Sirait mengungkapkan, diperlukan kerja konkret yang lebih keras untuk melindungi anak-anak.
”Kami, Komnas Anak, akan mengambil peran yang telah kami jalankan selama ini dengan merumuskan program yang lebih sistemis, bukan hanya sebagai ’pemadam kebakaran’, melainkan pada sosialisasi akan UU Perlindungan Anak dan kewajiban untuk anak dilindungi pada tahun 2012 mendatang,” ujar Arist. (Dwi As Setianingsih)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.