Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tawuran: Tradisi Buruk Tak Berkesudahan

Kompas.com - 23/12/2011, 10:21 WIB

Dalam penelitian untuk disertasi berjudul ”Student Involvement in Tawuran: A Social-psychological Interpretation of Intergroup Fighting among Male High School Students in Jakarta”, tahun 1996-1997, Winarini menemukan adanya fenomena barisan siswa (basis) yang terdiri atas 10-40 siswa. Mereka bersama-sama pergi dan pulang sekolah naik bus umum. Basis itu terbentuk berdasarkan keyakinan bahwa mereka akan diserang oleh sekolah musuh bebuyutan mereka (Kompas, 26/11).

Menghilangkan tawuran

Untuk menghilangkan tawuran antar-pelajar yang sudah mengakar, tentu dibutuhkan usaha keras. Banyak usulan yang dilontarkan untuk mengurangi tawuran antar-pelajar. Beberapa di antaranya memindahkan sekolah, memotong generasi di sekolah, atau memotong mata rantai tradisi tawuran.

Salah satu upaya mengurangi tawuran yang juga pernah dilakukan adalah memindahkan letak sekolah karena diduga lingkungan sekolah yang terlalu ramai di tengah kota mengakibatkan tekanan mental lebih berat bagi siswa. Pada periode 1980-an, SMA 7 Gambir, Jakarta, terlibat konflik dengan STM Boedi Oetomo Pejambon. Kemudian, pada awal tahun 1990-an, SMA 7 dipindahkan ke wilayah Karet Pejompongan untuk memutus tawuran dengan STM Boedi Oetomo.

Ketua KPAI Maria Ulfah Anshor mengungkapkan, tradisi tawuran bisa diputus dengan menanamkan nilai-nilai kepada anak-anak di rumah. ”Keluarga mempunyai peranan penting untuk menanamkan nilai menghargai perbedaan, yang nyata dalam kehidupan dan tidak bisa dihindari. Nah, bagaimana menghargai perbedaan itu menjadi sesuatu yang positif,” kata Maria Ulfah.

Untuk itulah, ketika melakukan mediasi antara SMA 6 dan SMA 70 Jakarta, KPAI juga mengundang pihak orangtua. ”Sistem pendidikan kita seharusnya juga ikut mendukung itu. Dulu ada pelajaran budi pekerti, tetapi kurikulum menghilangkannya dengan alasan sudah terintegrasi dengan pelajaran lain. Padahal, kenyataannya, nilai-nilai dari budi pekerti itu memang tidak diajarkan, hilang begitu saja,” ujarnya.

Maria Ulfah juga mengusulkan memotong mata rantai pemicu tawuran. Terkadang kita tidak tahu apa yang menjadi penyebab tawuran, yang kemudian mengakar sampai ke generasi berikutnya. Nah, kata Maria Ulfah, mengapa tidak mengubah paradigma tawuran, permusuhan antar-pelajar tak perlu disikapi dengan perlawanan.

”Harus diputus tradisi senior yang memanas-manasi yuniornya supaya terlibat tawuran. Ada baiknya pula menghidupkan kembali pertandingan persahabatan antarsekolah. Kalau zaman dulu pertandingan olahraga bisa mempererat hubungan antarpelajar, kenapa sekarang tidak?” ungkapnya.

Harapan KPAI tentu menjadi harapan kita semua.(suSIE berindra)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
    atau