Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketidakadilan RSBI/SBI

Kompas.com - 26/01/2012, 09:17 WIB

Sekolah untuk siapa?

Kenyataannya, peraturan-peraturan dan perundang-undangan yang berlaku mensyaratkan, antara lain, prestasi akademik untuk dapat mengakses pendidikan bermutu melalui mekanisme penerimaan siswa ke jenjang yang lebih tinggi di pendidikan dasar dan menengah. Konsekuensinya, yang memiliki peluang mendapatkan pendidikan lebih bermutu adalah siswa dengan prestasi akademik yang lebih tinggi.

Ketidakadilan ini tidak hanya terjadi di sekolah-sekolah negeri dengan label RSBI/SBI—yang telah memenuhi Delapan Standar Nasional Pendidikan dan diperkaya dengan kurikulum negara-negara OECD ataupun negara maju lainnya—tetapi juga di sekolah-sekolah yang berada pada level di bawah RSBI/SBI berdasarkan kategorisasi yang dibuat oleh pemerintah.

Nilai UN, misalnya, digunakan sebagai dasar seleksi dari SD ke SMP/setingkat dan dari SMP ke SMA/setingkat sebagaimana tercantum pada Pasal 68 PP Nomor 19 Tahun 2005. Siswa dengan nilai UN lebih tinggi berpeluang lebih besar untuk diterima di sekolah-sekolah yang masuk dalam kategori sekolah standar nasional (SSN). Siswa yang memiliki nilai UN lebih rendah harus menerima kenyataan bersekolah di sekolah-sekolah dengan mutu lebih rendah.

Setiap anak memang memiliki minat, bakat, dan kemampuan yang berbeda-beda. Meskipun demikian, anak-anak dengan kemampuan akademik yang kurang sekalipun memiliki peluang yang lebih besar untuk mencapai potensi tertinggi yang dimiliki apabila mereka berada di lingkungan belajar yang lebih kondusif. Lingkungan belajar dengan guru-guru yang memiliki kecintaan tinggi pada profesi yang ditekuninya dan berbagai sarana-prasarana penunjang yang diidealkan bagi RSBI/SBI.

Sangat disayangkan jika anak-anak dengan kemampuan akademik kurang tereliminasi oleh peraturan-peraturan yang sebenarnya bertentangan dengan hak warga negara untuk memperoleh pendidikan bermutu.

Di lain pihak, keterkaitan antara prestasi akademik dan status sosial ekonomi orangtua telah mendapatkan dukungan bukti-bukti empiris yang meyakinkan (Dee & Jacob, 2006).

Diane Ravich, seorang profesor sejarah pendidikan dari New York University, yang awalnya mendukung ”No Child Left Behind” (tidak seorang anak pun boleh ditinggalkan) dengan kebijakan-kebijakan yang didasarkan pada standardisasi dan akuntabilitas pendidikan yang didasarkan pada hasil-hasil tes, kini berbalik menentang.

Faktor kemiskinan

Ravich menegaskan bahwa faktor yang paling berpengaruh terhadap rendahnya prestasi akademik siswa adalah kemiskinan. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila siswa dari kalangan lebih mampu secara ekonomi yang mendominasi sekolah-sekolah berlabel RSBI.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com