Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kebijakan Dikti Berpotensi Merugikan

Kompas.com - 09/02/2012, 09:49 WIB

Program S-2 dan S-3

Keharusan menerbitkan paper di jurnal nasional terakreditasi membuat mahasiswa S-2 tidak mungkin lulus Agustus 2012. Mereka harus menunggu 1-2 tahun lagi karena proses pengiriman, review, perbaikan, dan penerbitan sebuah paper dalam jurnal nasional terakreditasi membutuhkan waktu 1-2 tahun.

Ditjen Dikti memberi waktu dua tahun untuk penyelenggaraan program S-2 di Indonesia. Waktu ini sebenarnya hanya relevan bagi program S-2 tanpa tesis. Jika wajib tesis, umumnya mahasiswa S-2 dapat menyelesaikan studi dalam tiga tahun. Dengan kebijakan penerbitan paper di jurnal nasional terakreditasi, kelulusan mahasiswa S-2 akan molor 4-5 tahun.

Umumnya program magister tidak mensyaratkan penulisan tesis, demikian pula halnya pada beberapa universitas terkemuka di luar negeri. Masyarakat juga lebih banyak memilih jalur non-tesis dibandingkan jalur tesis. Maka, kebijakan Dirjen Dikti ini akan mengacaukan sistem pendidikan S-2 di Indonesia sehingga sistem perlu ditata ulang, termasuk semua kurikulumnya.

Pada penyelenggaraan program S-3, menghasilkan paper yang diterima di jurnal internasional bukan perkara mudah. Umumnya, pengiriman draf sampai memperoleh acceptance letter untuk diterbitkan butuh waktu 1-3 tahun. Pada kasus kenaikan pangkat dosen, masalahnya juga sama: tidak semua jurnal sudah online dan lamanya prosedur pemuatan paper di jurnal ilmiah.

Dalam panduan Ditjen Dikti, penyelesaian program studi S-3 adalah tiga tahun. Namun, rata-rata penyelesaiannya 4-5 tahun karena minimnya fasilitas laboratorium. Dengan kebijakan Dirjen Dikti, penyelesaian program doktor bisa 6-7 tahun.

Biaya penyelenggaraan program S-2 dan S-3 termasuk mahal sehingga penambahan waktu penyelesaian studi akan menambah beban mental dan finansial.

Upaya peningkatan

Pemerintah seyogianya mengkaji, mengapa produktivitas paper peneliti—termasuk dosen di Indonesia—di jurnal nasional dan internasional sangat rendah. Pemerintah juga harus menyelidiki kenapa di negara lain, termasuk Malaysia, tingkat produktivitasnya lebih tinggi.

Salah satu alasannya adalah karena para peneliti dan dosen di Indonesia tidak dapat fokus pada pekerjaan akibat gaji tidak mencukupi, bahkan untuk hidup sederhana. Belum lagi minimnya peralatan laboratorium.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com