Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Belajar Hidup di Tapal Batas

Kompas.com - 09/02/2012, 10:36 WIB

Di lapak kumuh Teluk Gong, Elang juga merasakan betapa sulitnya mencari penghidupan. Tidur di bawah kolong jembatan layang, disitanya alat komunikasi, tak boleh bawa uang, sungguh sebuah penghayatan hidup yang sama sekali tak dibayangkan oleh anak-anak modern seperti Elang. ”Saya merasakan betul semangat dan daya juang para pemulung.”

Berbeda dengan pengalaman ketiga rekannya, siswa SMA Kolese De Britto lainnya, V Bimo Dwi Avianto (17), justru mendapat tugas live in di panti asuhan anak-anak berkebutuhan khusus Bhakti Luhur Malang, Jawa Timur. Bersama satu rekannya, setiap hari Bimo merawat tujuh anak berkebutuhan khusus.

”Kami merawat mulai dari memandikan, menggosok gigi, menyuapi, hingga bermain bersama mereka yang setiap saat air liurnya keluar dan tak bisa berbuat apa-apa. Saya yang dikaruniai fisik normal seharusnya lebih bersyukur,” kata Bimo.

Tahun 2011, cucu Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X, Raden Mas Gusthilantika Marrel Suryokusuma (18), juga pernah mengenyam pengalaman hidup bersama anak-anak berkebutuhan khusus di Panti Asuhan Bhakti Luhur Malang.

”Dibanding anak-anak panti yang dibuang orangtua mereka, hidupku ternyata jauh lebih beruntung. Aku sekarang bisa merasakan benar tetesan keringat perjuangan ibu yang perhatian terhadapku. Aku juga bisa lebih menghargai hidup, seperti dikatakan eyang kakungku, sebagai lelaki aku harus sembodo (berani menanggung risiko) dan mandiri dalam menghadapi tantangan dan kesulitan,” kata Marrel dalam refleksinya.

Tapal batas

Penanggung jawab live in sosial SMA Kolese De Britto, Pater L Bagus Taufik Dwiko NP SJ, mengatakan, kisah-kisah hidup di lingkungan baru yang sangat bertolak belakang dengan kehidupan sehari-hari siswa-siswa diharapkan mampu memunculkan pengalaman—tapal batas kehidupan di hati para siswa.

”Pengalaman ini memancing emosi siswa. Pada situasi dan kondisi yang berbalik dengan kehidupan sehari-hari, hanya ada dua kemungkinan, yaitu mereka akan mendobrak kelemahan atau justru mengikuti kelemahan.

”Jadi mereka benar-benar kita tempatkan di tapal batas kehidupan, yaitu pilihan hidup,” kata Pater Dwiko.

Pater Dwiko selaku penggagas kegiatan ini sempat disomasi karena kegiatan ini dinilai tidak manusiawi. ”Namun, orang tua akhirnya sadar setelah mengetahui perubahan signifikan pada diri anak-anak mereka pasca-kegiatan live in sosial,” kata koordinator live in sosial, Ig Kingkin Teja.

Guru pendamping siswa, J Sumardianta, menyatakan, potensi manusiawi anak diharapkan muncul dalam live in sosial ini.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com