Dalam perkembangannya sekarang, pesantren memang perlu dipilah-pilah agar tidak rabun saat menatapnya. Masyarakat bisa saja ”jengah” melihat sepak terjang seperti pesantren di Bima yang berpapan nama Pesantren Umar bin Khaththab dan digerebek polisi karena menyimpan amunisi bom beberapa waktu lalu. Inilah tipe pesantren sarang radikalisme.
Dalam suasana merebaknya radikalisme agama, wajar jika kita terus ”siaga satu” meneropong kehadiran pesantren. Apalagi, saat ini ditengarai munculnya pesantren-pesantren ”dadakan” yang eksklusif. Kehadiran pesantren jenis ini tampaknya tengah menggempur kota hingga desa. Militansi yang berlebihan dari sekelompok Muslim dengan dalih ”dakwah” telah menjadikan pesantren bercita rasa menakutkan. Padahal, selama ini pesantren mempunyai citra teduh dan santun dalam menggembleng santri memahami ajaran Islam.
Perlu untuk membaca kembali pesantren sebagai warisan kekayaan budaya Nusantara. Dalam sejumlah aspek, pesantren juga dipandang sebagai benteng pertahanan kebudayaan karena peran sejarah yang dimainkannya.
Harapan ini tentu saja tidak terlalu meleset dari konstruksi budaya yang digariskan pendirinya. Selain diangankan sebagai pusat pengembangan ilmu dan kebudayaan yang berdimensi religius atau sekadar improvisasi lokal, pesantren juga dipersiapkan sebagai penggerak transformasi bagi komunitas masyarakat dan bangsa. Angan-angan tersebut justru diberangkatkan dari ”landasan tradisi” masyarakat setempat.
Sebagai hasil dari pergulatan kebudayaan yang kreatif antara tradisi kajian, sistem pendidikan, dan pola interaksi kiai-santri-masyarakat yang dibangun, pesantren akhirnya memiliki pola yang spesifik. Maka, pesantren pun menjadi subkultur dalam kultur bangsa Indonesia.
Dengan pola kehidupannya yang unik, pesantren mampu bertahan selama berabad-abad untuk mempergunakan nilai-nilai hidupnya sendiri. Pesantren bersemayam sebagai lembaga pendidikan Islam yang sangat berakar di masyarakat. Kiai pendiri sebuah pesantren akan berinteraksi dengan masyarakat sekitar dan masyarakat pun merasa memilikinya.
Dalam perkembangannya, pesantren berada dalam kedudukan kultural yang relatif lebih kuat dibandingkan dengan masyarakat sekitar. Kedudukan ini dapat dilihat dari kemampuan pesantren bertransformasi total dalam sikap hidup tanpa mengorbankan identitas diri. Pola pertumbuhan pesantren menunjukkan kemampuan untuk berubah total itu.