Kebebasan relatif pondok pesantren dari intervensi eksternal dalam skala besar telah memberikan ruang untuk melakukan transformasi yang dibutuhkan bagi eksperimentasi dengan ide-ide dan gagasan para pemikir. Kebebasan relatif hasil dari keterampilan pesantren merespons metode konstruktif dari tantangan eksternal seperti sistem sekolah Barat adalah situasi otonom yang diberikan oleh pesantren dan cukup fleksibel dalam rangka memelopori konsep pendidikan baru. Dalam perspektif kebudayaan, melaksanakan peraturan pelengkap dengan kesadaran ideologis memberikan landasan kuat untuk transformasi sosial yang fundamental dan dibutuhkan oleh negara ke depan.
Sejarah membuktikan bahwa pesantren telah berperan sebagai agen ortodoksi Islam yang paling penting. Ini berarti bahwa pesantren lebih banyak memperhatikan bagaimana menjaga ajaran Islam dan tarikan akulturatif berbagai unsur sistem kepercayaan lokal atau asing. Soal kesinambungan menjadi sangat penting. Akibatnya, di samping menjadi ”makelar kebudayaan” (cultural broker), pesantren juga berfungsi sebagai filter dari unsur-unsur luar yang dominan.
Kitab kuning adalah faktor penting yang menjadi karakteristik pesantren. Selain sebagai pedoman bagi tata cara keberagamaan, kitab kuning juga difungsikan oleh kalangan pesantren sebagai referensi (marji’) nilai universal dalam menyikapi segala tantangan kehidupan.
Segi dinamis yang diperlihatkan kitab kuning adalah transfer pembentukan tradisi keilmuan yang didukung penguasaan ilmu-ilmu instrumental, termasuk ilmu-ilmu humanistik (adab). Tanpa kitab kuning, dalam pengertian yang lebih kompleks, tradisi intelektual sulit bisa keluar dari kemelut ekstremitas.
Pesantren ”jenis kelamin” inilah yang membedakan dengan pesantren-pesantren ”kagetan” yang lebih menekankan pada upaya puritanisme radikal. Pesantren model ini berisiko menafikan peran khazanah klasik keislaman yang menyimpan jamak mutiara pemikiran ulama. Islam kemudian dipahami secara ”kering kerontang” oleh sebab pengajaran Islam dijauhkan dari tradisi estafeta pemikiran. Sebaliknya, pesantren yang mengakrabi pengajaran secara ”sistematis” keilmuan dengan senantiasa merujuk pada pemahaman ulama terdahulu tanpa meninggalkan semangat penggalian terhadap sumber primer keislaman, pesantren inilah yang mampu melahirkan sikap-sikap yang tasamuh (lapang dada), tawazun (seimbang), dan i’tidal (adil). Pendidikan pesantren seperti ini tidak akan memproduksi sikap radikal yang berpunggungan dengan kultur azali moderat ajaran Islam.
Prinsip mengemban Islam yang ramah dan penuh kasih merupakan jihad suci. Pemikiran yang demikian sudah menjadi dasar pesantren dalam kurun waktu lama. Sedari awal berdirinya, pesantren sudah diarahkan sebagai komponen bagi pembaruan masyarakat. Dan, pembaruan yang diungkapkan oleh pesantren itu melalui proses yang lentur, tidak kaku atau menutup diri terhadap dunia luar. Inilah yang justru menumbuhkan sikap para santri untuk terbuka wawasannya, menerima, dan sekaligus kritis terhadap gejala-gejala baru yang muncul.
Ada tiga hal yang perlu dikokohkan pesantren. Pertama, tamadun, yaitu merancang bangun pesantren sebagai model pendidikan yang terbuka, baik secara keilmuan maupun kemasyarakatan. Kedua, tsaqafah, yaitu memberikan pencerahan kepada masyarakat agar kreatif-produktif sehingga pesantren mampu jadi agen perubahan yang bermanfaat dalam spektrum keindonesiaan. Ketiga, hadharah, membangun budaya. Di sini, pesantren diharapkan mampu melestarikan dan mengembangkan tradisi adiluhung di tengah pengaruh dahsyat globalisasi yang menyeragamkan budaya melalui produk teknologi.
Islam bukanlah agama akidah dan syariat semata. Persentase akidah dan syariat hanya 10 persen, sedangkan kandungan lain adalah peradaban akhlak dan budaya. Tugas umat Muslim tidak melulu mendoktrinkan akidah-syariat (halal-haram) atau melahirkan fatwa sesat-menyesatkan, tetapi juga bagaimana doktrin dengan kebenaran ilmiah, bukan dogma kaku akibat ”kalap teks”.
Prinsipnya adalah al-muhafadzah ’ala al qadim al-shalih, wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah, yaitu tetap memegang tradisi yang positif dan mengimbangi dengan mengambil hal-hal baru yang positif. Dengan demikian, pesantren akan tetap eksis sebagai lembaga pendidikan Islam dengan visi mencetak manusia-manusia unggul yang inklusif dan kosmopolit.