Namun, ada kebijakan unik di sana. Jika hasil penelitian pema- kai fasilitas dipublikasikan, pemakai tak dikenai biaya. Jika hasil penelitian dirahasiakan, pemakai dikenai biaya yang dihitung per jam! Unik, tetapi pesannya jelas. Jika dipublikasikan, hasil penelitian menjadi public goods, sudah dipertanggungjawabkan kepada khalayak. Sementara itu, hasil penelitian yang dirahasiakan akan selamanya menjadi milik si peneliti. Masuk akal jika ia harus membayar untuk itu.
Sekarang pertanyaan kita: apa sebenarnya tujuan penelitian di perguruan tinggi? Karena kegiatan di perguruan tinggi adalah proses transfer dan pengembangan ilmu, sejatinya mayoritas penelitian perguruan tinggi bersifat pengembangan ilmu yang cakupannya sangat spesifik, hanya diketahui segelintir manusia di negara ini. Maka, agar kebenaran hasilnya dapat diperiksa, ia harus dipublikasikan (secara internasional).
Ironisnya, mayoritas masyarakat perguruan tinggi kita sudah lama dan terbiasa meninggalkan budaya ilmiah ini. Contoh paling jelas, meski akhir-akhir ini sudah mulai dikurangi, produk sebuah penelitian cukup berupa laporan tebal plus laporan keuangan. Kalaupun ada review hasil penelitian, sudah lazim pula jika pelakunya tak sebidang dan tak tahu persis apakah hasil penelitian yang dilaporkan bermakna saking spesifiknya penelitian itu. Itulah pola yang sudah berlangsung lama dan telah membuat kita terjebak dalam ketertinggalan ilmu yang sangat parah.
Tak perlu digugat lagi betapa banyak manfaat publikasi ilmiah, terutama publikasi internasional: klaim hak cipta, mempercepat pengembangan ilmu, mencegah plagiarisme, membangun komunikasi dan kerja sama ilmiah, menjaga mutu penelitian dan lulusan perguruan tinggi, serta menjaga eksistensi peneliti Indonesia di komunitasnya.
Yang terakhir ini juga penting sebab saya sering menghadapi sapaan basa-basi saat berkenalan dengan kolega dari negara maju: ”Oh, you are from Indonesia! Nice to meet you, I’ve never seen an Indonesian scientist is working in this field before.”
Publikasi mahasiswa?
Menulis makalah di sebuah jurnal ilmiah merupakan bagian integral dari proses pengembangan ilmu. Jadi, harus juga dikenalkan kepada mahasiswa. Mereka yang pernah mengenyam pendidikan S-3 di negara maju tahu persis bahwa hampir semua tesis di sana dipublikasikan di jurnal internasional. Hal ini sudah berlaku di negara tetangga.
Untuk program S-2, kondisinya berbeda. Di Inggris, S-2 dapat ditempuh tanpa tesis. Di Jerman, isi sebuah Diplomarbeit umumnya dapat dipublikasikan di jurnal internasional karena dikerjakan secara serius selama satu tahun.
Bagaimana dengan S-1? S-1 unik karena ia bukan tingkat bachelor ataupun master. Karena S-1 merupakan bagian formal dari institusi ilmiah, budaya ilmiah pun sepatutnya diterapkan meski tingkat penerapannya berbeda dengan S-2 dan S-3. Jika tidak, kita harus berhenti menganggap seorang sarjana berbeda dengan lulusan sekolah vokasi.
Sebagai kesimpulan, usul Franz Magnis-Suseno agar Dikti membuka perwakilan di Timor Leste untuk memfasilitasi pembuatan jurnal internasional ala Indonesia jelas salah besar. Justru kewajiban kita membuat publikasi mahasiswa S-3 memenuhi kualitas standar jurnal internasional yang sudah mapan sehingga mutu lulusan S-3 kita tak perlu dipertanyakan.
Selama ini kita dan generasi pendahulu kita sudah membuat kesalahan besar dalam pengembangan budaya ilmiah di perguruan tinggi yang, jika tak segera dibenahi, akan meruntuhkan bangunan peradaban bangsa ini. Pembenahan harus multilevel, bahkan mungkin dari tingkat pendidikan anak usia dini sekalipun. Namun, jelas pembenahan harus mulai dari detik ini. Jangan menunggu lagi.
Terry Mart Pengajar Fisika FMIPA UI
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.