Kekerasan pun tidak lagi dipandang sebagai kesalahan atau keburukan, tetapi sebagai manifestasi loyalitas anggota terhadap tujuan-tujuan kelompok tersebut. Pada proses konstruksi ini, kekerasan merupakan identitas yang dianggap benar dan suci.
Efek selanjutnya, kekerasan sering kali diberdayakan ketika muncul situasi yang dipersepsi merugikan tujuan-tujuan kelompok. Misalnya, menjamurnya klub-klub malam bisa dipersepsi sebagai situasi yang mengancam tujuan FPI membangun masyarakat ”antimaksiat”. Mobilisasi kekerasan terhadap klub-klub malam dijustifikasi sebagai bentuk kebenaran untuk menyelamatkan ”masyarakat luas”.
Tentu saja kekerasan sebagai identitas tidak terbatas pada FPI, tetapi juga tumbuh kuat pada kelompok-kelompok sosial lain, baik etnis, keagamaan, maupun golongan. Realitas ini terlihat dari menjamurnya kekerasan dalam berbagai konflik sosial di Tanah Air.
Merata dan meningkatnya frekuensi kekerasan, sebagai identitas, dalam banyak kasus konflik sosial akhir-akhir ini merupakan kondisi memprihatinkan. Amartya Sen (Identity and Violence: The Illusion of Destiny, 2006) mengingatkan, menguatnya identitas kekerasan akan menciptakan situasi keterjebakan masyarakat dalam logika brutal anarkisme. Masyarakat dengan berbagai kelompok sosial di dalamnya kehilangan kemampuan memahami bahwa kekerasan adalah simpul-simpul kehancuran sendiri.
Sen, seperti dikutip pada pembukaan di atas, dengan gaya ironi menyebut identitas kekerasan hanya dilakukan oleh mereka, anggota masyarakat, yang mudah dibohongi oleh doktrin-doktrin sempit. Adalah suatu kebohongan bahwa kekerasan merupakan kehormatan atau harga diri.
Adalah suatu kenyataan bahwa masyarakat Indonesia tengah terjebak dalam konstruksi identitas kekerasan. Alhasil, mobilisasi kekerasan direproduksi ketika di antara kelompok sosial mengalami benturan tujuan di dalam sistem sosial.
Konsekuensinya adalah kerugian besar dalam bentuk korban jiwa, hancurnya harta benda, merapuhnya produktivitas sosial ekonomi, bahkan suramnya masa depan generasi muda. Pada situasi ini, negara harus memiliki kekuatan yang besar untuk menyelamatkan bangsa Indonesia dari jebakan identitas kekerasan dan mewujudkan masyarakat inklusif.
Penguatan negara tak berarti adanya peningkatan represi negara terhadap eksistensi kelompok-kelompok identitas. Namun, negara harus memperkuat fungsi-fungsi kelembagaannya berdasarkan mandat demokrasi. Termasuk dalam penggunaan cara kekerasan, harus dipastikan bahwa praktik itu menjadi otoritas penuh lembaga negara.
Penggunaan kekerasan sebagai otoritas negara dalam