Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Saatnya Berguru ke Malaysia?

Kompas.com - 29/02/2012, 02:11 WIB

Untuk menunjang kelangsungan riset, bilamana sumber daya dosen lokal yang ada belum memadai, terbuka luas kesempatan mengundang dosen asing bergelar doktor untuk mengajar sekaligus jadi peneliti. Setiap universitas punya otoritas untuk menetapkan jabatan akademik, tak harus mengurus ke ”Dikti”-nya mereka secara sentral seperti di Indonesia.

Proses penetapannya juga amat cepat, utamanya melihat kinerja riset. Universitas juga punya otoritas menetapkan standar gaji dan fasilitas. Tidak heran jika banyak dosen bergelar doktor dari Indonesia jadi ”TKI” di sana. Kehadiran dosen asing yang mumpuni ini jadi faktor penting pendongkrak kinerja riset Malaysia.

Situasi kita

Gambaran di atas berbicara tentang persentase artikel yang ditulis oleh penulis dari sejumlah negara. Angka yang dicatat dari publikasi Indonesia sangat tinggi, 70-80 persen, jauh lebih tinggi dibanding tiga negara lain (30-50 persen). Artinya, 70-80 persen publikasi ilmiah dari Indonesia hasil kolaborasi dengan penulis dari negara lain. Hal ini bisa jadi suatu indikator yang baik karena penulis-penulis Indonesia menjalin kerja sama erat dengan peneliti dari sejumlah negara.

Namun, hal ini juga bisa berarti lain. Mengingat angka publikasi yang relatif rendah, bisa jadi publikasi ilmiah Indonesia dihasilkan terutama oleh peneliti Indonesia yang studi S-2 dan S-3 di luar negeri, kemudian menuliskan karya ilmiahnya bersama dosen pembimbingnya. Dan, sangat mungkin setelah pulang ke Indonesia produktivitas mereka langsung anjlok dan tak melakukan publikasi lagi.

Hal ini mestinya perlu ditelusuri penyebabnya. Boleh jadi ini penyebab utama rendahnya publikasi Indonesia. Patut diduga, iklim riset yang kurang kondusif menyebabkan peneliti Indonesia jadi ”mandul” sepulang ke Indonesia.

Bukan rahasia lagi, banyak peneliti hebat kita yang baru pulang studi lanjut di luar negeri kembali ke kampus tak punya meja, apalagi fasilitas dan dana riset. Belum lagi beberapa kebijakan Dikti yang bertentangan dengan semangat menaikkan jumlah publikasi Indonesia. Di antaranya apa yang dinamakan ”batas kepatutan” dalam melaksanakan penelitian yang dinyatakan dalam Pedoman Operasional Penilaian Angka Kredit Kenaikan Jabatan Fungsional Dosen, dikeluarkan Dirjen Dikti, Oktober 2009.

Hal lain, karya ilmiah yang terbit dalam rentang antara penyerahan berkas penilaian angka kredit dan tanggal SK jabatan akademik tak dapat digunakan untuk kenaikan jabatan berikutnya. Rentang waktu ini bisa lebih dari satu tahun. Tak sulit menemui dosen yang enggan menerbitkan karyanya dalam rentang waktu ini karena nantinya akan dinyatakan ”hangus”. Jelas kebijakan ini tak senapas dengan instruksi Dirjen Dikti terbaru. Belum lagi, berapa banyak dosen bergelar doktor yang tak punya anak bimbing S-2 dan S-3? Berapa banyak pula ketua jurusan, dekan, dan pejabat akademik lain penentu kebijakan di universitas kita yang tidak punya rekam jejak riset dan publikasi bermutu?

Harus diakui fondasi bangunan riset kita masih rapuh, berakibat pada rendahnya publikasi kita. Jalan pintas instruksi Dirjen Dikti perlu dibarengi dengan upaya serius pembangunan fondasi riset yang lebih kokoh agar keberhasilannya lebih berkelanjutan. Mungkinkah saatnya kita berguru kepada Malaysia?

Djwantoro Hardjito Dosen Teknik Sipil UK Petra, Surabaya; Pernah Mengajar di Malaysia

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com