Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Olah Masa Depan Semanis Roti "Esemka"

Kompas.com - 12/03/2012, 14:30 WIB

Sekolah menentukan roti sebagai keahlian wajib siswa, kata Ike, setelah mendapat bantuan peralatan seperti oven tiga tingkat, mikser besar dan kecil, mesin pembuat es krim, timbangan digital, dan loyang berbagai ukuran dari pemerintah.

Peralatan mendekati standar industri itu tak hanya digunakan untuk praktik siswa, tetapi juga dimanfaatkan untuk memberi pelatihan keterampilan hidup bagi masyarakat sekitar.

”Kami sering mengadakan pelatihan untuk masyarakat tidak mampu. Harapannya, produksi rumah tangga bisa berkembang,” kata Ike.

Kepala SMKN 1 Ciamis Hadi Sumantoro menjelaskan, roti Esemka sebagai mata pelajaran muatan lokal memang dimulai ketika ada bantuan pemerintah sekitar satu tahun lalu. Namun, pertimbangan awalnya karena produksi roti dinilai lebih mudah dan sederhana. Jika telah terampil, siswa bisa memulai usaha roti kecil-kecilan di rumah setelah lulus sekolah.

Dengan metode berbasis lini industri, siswa di sekolah yang beralamat di Jalan Jenderal Sudirman Nomor 269, Kabupaten Ciamis, itu diharapkan tidak hanya lihai memasak, tetapi juga memasarkan produknya.

Setelah selesai memasak, siswa akan berkeliling ke kelas, sekolah lain, atau kantor terdekat untuk menawarkan produknya. Satu roti Esemka dijual dengan harga Rp 1.250. Yang paling laku roti cokelat dan roti pisang. Dari hasil penjualan, siswa berhak memperoleh Rp 100 per roti. Keuntungan dari total hasil penjualan digunakan untuk membeli bahan produksi. ”Agak sulit memasarkan produk siswa karena persaingan ketat dengan industri yang mapan. Siswa juga kadang-kadang kesulitan menghitung nilai jual produknya,” kata Ike.

Meski masih malu-malu, siswa didorong untuk percaya diri menawarkan produk ke konsumen. Hadi mengingatkan, memupuk jiwa kewirausahaan siswa jauh lebih penting ketimbang mengejar kuantitas penjualan. ”Yang penting keberanian siswa karena sudah mulai banyak pesanan roti Esemka dari sekolah lain atau kantor-kantor,” ujarnya.

Kebutuhan tinggi

Kebutuhan akan tenaga tata boga, baik sebagai pelayan maupun asisten koki, sangat tinggi. Setiap tahun, siswa tata boga selalu habis ”dipesan” industri di Jawa Barat, bahkan sebelum mereka lulus sekolah. Ketika liburan sekolah tiba, hampir semua siswa (dari 1.300 siswa, 90 siswa belajar di jurusan tata boga) diminta industri untuk membantu hotel, restoran, atau usaha katering yang menjadi mitra sekolah. Sayangnya, jumlah sumber daya manusia yang bisa disediakan sekolah relatif minim. Bahkan, belakangan ini industri gencar mencari tenaga tata boga laki-laki untuk menjadi asisten koki.

”Padahal, siswanya mayoritas perempuan. Yang laki-laki hanya ada satu dua. Biasanya industri membutuhkan laki-laki di dapur sebagai asisten koki karena alasan tenaga atau kondisi fisik yang lebih kuat. Kami belum bisa memenuhi itu,” kata Hadi.

Masih rendahnya jumlah siswa yang masuk ke tata boga, kata Hadi, antara lain karena ada persepsi bahwa tata boga tidak perlu dipelajari hingga bangku sekolah. Cukup masuk ke dapur di rumah, siswa sudah bisa memasak.

”Padahal, tata boga tak hanya mengajarkan memasak, tetapi juga manajemen restoran standar perhotelan. Kami tak hanya menghasilkan tukang masak, tetapi sampai level manajer dan koki kepala. Persepsi masyarakat ini yang sedang kami usahakan untuk diubah,” katanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com