Kalau bukan saya, siapa lagi yang akan peduli dengan teman-teman cacat ini? Saya paham benar bagaimana sulitnya menjadi penyandang cacat. Orang cacat masih dipandang sebelah mata dan tidak dipercaya. Kalau sudah begini, bagaimana orang cacat bisa bertahan hidup?” kata ibu tiga anak itu.
Berbekal tekad menyejahterakan teman-teman penyandang cacat, Yuli menampung 36 penyandang cacat tinggal bersama keluarganya. Keberanian menampung puluhan teman cacat itu muncul setelah dia menikah. Tepatnya, setelah seringnya mereka berkumpul di rumah kontrakan Yuli untuk sekadar berbagi pengalaman.
Mereka berbagi kepedihan bagaimana sulitnya mencari kerja, bagaimana harus menerima hinaan dan tekanan banyak pihak, dan kekhawatiran akan masa depan mereka kelak. Sosok Yuli yang kuat dianggap teman-temannya mampu menjadi pelipur lara.
Tahun 1996 atau dua tahun setelah Yuli menikah, dia dan 10 penyandang cacat, yang biasa berkumpul, memberanikan diri berjualan kue dan rempeyek. Usaha ini berjalan meski hasilnya belum terlalu maksimal.
Biaya hidup Yuli bersama 10 orang yang ditampungnya tak mampu dipenuhi dari hasil berjualan penganan tersebut. Jatuh-bangun, meminjam uang sana-sini, dan tak bisa makan menjadi hal biasa bagi mereka kala itu. Untuk memulangkan 10 temannya, ia tak tega. Alasannya, rata-rata mereka berasal dari keluarga kurang mampu.
Tahun 2003 Yuli bertekad agar teman-temannya bisa mempunyai tempat tinggal yang layak. Dia menerima tawaran salah satu sekolah luar biasa (SLB) untuk tinggal di SLB tersebut. Awalnya Yuli dan 10 temannya menganggap tawaran itu bak siraman air di tengah dahaga berkepanjangan.
Namun, semakin lama iming-iming mendapat pendidikan formal dan makan gratis terasa hanya kedok. Mereka diajak mencari sumbangan dana kepada donatur. Di asrama SLB itu mereka tak diberi makan dan hidup dalam gelap karena listrik dimatikan dengan alasan penghematan.