Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Karena Hati Kami Teriris

Kompas.com - 22/03/2012, 09:48 WIB

”Sejak tahun 2008, kami pindah rumah kontrakan,” kata Hotiah. Kini, sebuah rumah kontrakan sederhana di Jalan Pari, Gang Lumba-lumba 22, Kelurahan Rimbo Kaluang, Kecamatan Padang Barat, dengan halaman seadanya dijadikan lokasi belajar.

Hotiah memulai pendidikan prasekolah dasar bagi anak-anak nelayan itu karena merasa sedih. Kenyataan bahwa kini ada semacam ”tes” bagi anak-anak yang hendak masuk sekolah dasar membuat dia gundah.

”Anak saya mengalaminya walaupun tes lisan seperti membaca,” kata Hotiah.

Tidak seperti anaknya, yang relatif beruntung karena masih bisa beroleh pengajaran dan persiapan pendidikan sebelum menempuh SD, tidak demikian dengan sebagian besar anak nelayan. Mereka cenderung bermain bebas begitu saja tanpa ada yang mengajari kemampuan membaca, menulis, dan berhitung, yang diharapkan sebagian guru SD dikuasai terlebih dahulu oleh para calon murid mereka.

”Awalnya, ya, karena cinta kepada anak-anak dan hati kami yang teriris-iris saat berjalan-jalan di sekitar pantai dan melihat anak-anak itu,” kata Hotiah mengenang yang dia lakukan bersama suaminya. Dia lalu mengumpulkan anak-anak tersebut dan segera memulai pelajaran perdana.

Belakangan bantuan mulai berdatangan. Sejumlah donatur dan pemerintah tergerak membantu. Itu termasuk kemudahan pemberian izin operasional dari Dinas Pendidikan Kota Padang.

Kelas yang menampung murid dibagi dua. Kelompok Belajar bagi murid dengan rentang usia dua tahun hingga empat tahun. Sementara kelompok Pra Sekolah dikhususkan bagi murid berumur lima tahun hingga enam tahun.

Masyarakat pun merasakan hasilnya. ”Ya, sekarang cucu saya sudah mulai bisa mengeja tulisan dan membaca surat-surat pendek dalam kitab suci Al Quran. Saya tidak sempat mengajari dan tidak bisa juga,” kata Nenda.

Sehari-hari Nenda berdagang kelontong di rumahnya. Cucunya, Yola Pradipa (5), belajar di bawah asuhan Hotiah dan guru-guru lain sejak Juni 2011.

Kurikulum standar masih ditambah dengan pemahaman bagi murid-murid soal ancaman bencana gempa bumi dan kemungkinan tsunami. Itu mengingat permukiman padat itu persis berada di tepi pantai yang langsung menantang samudra.

Akan tetapi, Hotiah mengatakan, kesulitan utama yang kerap dialami guru adalah relatif tidak adanya kerja sama antara orangtua dan pelajaran yang sudah diberikan di sekolah. Materi pendidikan karakter yang diberikan terkadang menguap begitu saja dengan mudahnya setelah materi belajar di sekolah usai.

”Kadang-kadang anak-anak masih suka ikut bicara dengan kasar, mengikuti yang mereka lihat di lingkungan sekitar yang memang dekat pasar dan kesibukan nelayan di pantai,” tutur Hotiah.

(Ingki Rinaldi)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com