Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pendidikan Siapakah yang Perlu Lebih Difasilitasi?

Kompas.com - 11/04/2012, 14:12 WIB
M.Latief

Penulis

Pernyataan di dalam Education For All Global Monitoring Report, UNESCO, serupa tapi tak sama. UNESCO sepakat, bahwa ada pihak yang lebih perlu difasilitasi dibandingkan yang lain. Di situ tertulis bahwa "Dukungan terbesar perlu diberikan kepada yang paling memerlukannya (those in greatest need… [should recieve] the most support)" (UNESCO, 2009, h. 143).

Pertanyaannya adalah, siapakah yang dimaksud dengan those in greatest need tersebut? Siapakah paling perlu difasilitasi pendidikannya?

Tampaknya, versi pemerintah adalah, bahwa yang pendidikannya paling perlu difasilitasi lebih adalah anak-anak dengan kemampuan akademik tinggi dan juga kemampuan finansial memadai. Sekolah RSBI dan unggulan hanya menerima siswa yang memiliki kemampuan akademik di atas rata-rata.

Bukan hanya di Jakarta, di Lampung pun biaya masuk RSBI bisa mencapai Rp 20.000.000 (Tribun Lampung, 2011). Sebuah sekolah berlabel RSBI hanya wajib mengakomodasikan 20% siswa miskin dari total siswa. Sisanya, dipersilakan bersekolah di tempat lain, meskipun fasilitasnya masih jauh dari layak.

Mereka yang memiliki kemampuan finansial atau setidaknya berasal dari lingkungan keluarga yang resourceful, punya lebih banyak pilihan dalam menentukan bentuk pendidikan yang diinginkan. Kurang puas dengan sekolah publik? Bisa masuk sekolah swasta atau sekolah ke luar negeri. Kalau tidak, bisa memilih melakukan home schooling, ikut kursus ataupun belajar sendiri (melalui pengalaman, buku, maupun, internet). Hanya saja, tidak semua anak seberuntung itu.

Kesempatan untuk bisa memilih bentuk pendidikan yang diinginkan adalah sebuah kemewahan (privillage) yang tidak dimiliki oleh kebanyakan rakyat Indonesia. Tugas pemerintah adalah memfasilitasi mereka yang tidak memiliki privillage ini.

Program RSBI dan sekolah unggulan sebenarnya mengasumsikan, bahwa siswa-siswa yang perlu difasilitasi lebih hanyalah anak-anak yang memiliki tingkat akademik tinggi dan memiliki kemampuan finansial memadai. Padahal, mereka bukan dari kalangan those in greatest need. Mereka punya pilihan lebih banyak ketimbang masyarakat Indonesia pada umumnya. Mereka adalah kaum yang memang punya kesempatan-kesempatan istimewa (priviliged).

Majalah Jakarta Globe dalam editorialnya menyatakan, 50% penduduk Indonesia hidup dengan penghasilan di bawah $2 per hari atau sekitar Rp 600.000 per bulan. Lalu, bagaimana caranya mereka memperoleh pendidikan layak apabila pemerintah tidak memfasilitasi mereka?

Sebagian besar penduduk Indonesia kemampuan akademiknya masih rendah. Setidaknya, berdasarkan hasil studi PISA (OECD, 2006) yang menyatakan, bahwa sebagian besar siswa Indonesia memiliki kemampuan literasi di bawah level 1 (tidak mampu memahami bacaan), baik dalam membaca, Matematika, maupun sains.

Tentu, itu semua bukan salah siswa. Mereka memang tidak pernah difasilitasi dengan baik untuk memperoleh pendidikan berkualitas. Pemerintah wajib memfasilitasi mereka dengan kualitas pendidikan terbaik.

Kenapa pemerintah tidak melakukannya? Apakah karena memang tidak ada dana atau kapasitas? Atau, karena memang tidak ada political will saja?

Penulis adalah Direktur Riset dan Pengembangan Program Ikatan Guru Indonesia (IGI)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com