Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"The Devils are in The Details", Karut Marut Pendidikan Indonesia

Kompas.com - 18/04/2012, 16:18 WIB
M.Latief

Penulis

Di dalamnya juga disebutkan berbagai nama pusat perbelanjaan yang ada di Jakarta.

"Tempat perbelanjaan moderen di Jakarta, misalnya Mall Kelapa Gading di Jakarta Utara, Plaza Senayan di Jakarta Pusat, Pasaraya Manggarai di Jakarta Selatan, dan Supermarket Hero," (http://mahkotalima.blogspot.com/2012/02/reposting-pendidikan-lingkungan.html).

Penggunaan bahan ajar yang sedemikian rupa sama sekali tidak membantu siswa untuk bisa menjadi lebih tercerdaskan. Kalaupun siswa ingin diajak belajar mengenai pusat perbelanjaan, seharusnya mereka diminta mewawancarai petugas kebersihan di sana, manajer, dan sebagainya. Mereka bisa diminta untuk menganalisis jam kerja berbagai pegawai serta, misalnya, perbedaan gaji yang diperoleh kedua pihak.

Kasus semacam ini terjadi semenjak lama. Apakah pemerintah tahu hal ini? Apakah Pemerintah benar-benar tahu kondisi pendidikan Indonesia di lapangan?

Beredarnya LKS dan buku pelajaran yang rendah kualitasnya sebenarnya sudah menjadi rahasia umum. Materi-materi semacam ini beredar di banyak sekolah di Indonesia. Lucunya, pemerintah seakan-akan kaget dengan hal ini. Mereka pikir ini adalah kasus khusus, yang tidak umum. Padahal, kejadian seperti ini bukan pertama kalinya terjadi. Entah mereka benar-benar tidak tahu (karena tidak pernah turun ke lapangan) atau mereka memang pura-pura tidak tahu.

Memang benar, di beberapa sekolah, guru sudah bisa membuat bahan ajar sendiri. Hal seperti ini dapat kita temui di SD Hikmah Teladan Cimahi (http://hikmahteladan.com/), SD Semi Palar Bandung (http://semipalar.blogspot.com/), dan berbagai sekolah lainnya, baik sekolah negeri maupun swasta.

Tetapi, berapa persen guru yang memang memiliki kemampuan membuat bahan ajar sendiri? Apakah pemerintah memiliki database itu?

Jangankan membuat bahan ajar sendiri, sejumlah guru bahkan belum tahu caranya memilih mana bahan ajar yang memang edukatif, dan mana yang tidak. Ini dikarenakan tidak semua guru memiliki literasi yang baik.

Pada pelatihan-pelatihan yang pernah diselenggarakan Ikatan Guru Indonesia (IGI), masih sering ditemui guru yang bahkan tidak membaca satu buku pun dalam sebulan. Dalam sebuah seminar IGI pada 2011 lalu, sekitar 500 orang guru mengaku tidak pernah membaca kurikulum. Mereka hanya mengandalkan buku teks yang ada. Boro-boro merancang bahan ajar sendiri!

Meskipun begitu, sebenarnya banyak di antara mereka bersemangat meningkatkan kualitas dirinya. Sayangnya, mereka tidak selalu terfasilitasi dengan baik. Untuk pemerintah sendiri, sebenarnya ada beberapa pertanyaan. Apakah pemerintah benar-benar tahu kondisi pendidikan di lapangan?

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com