Danau-danau Penanda Jejak Tektovulkanik

Kompas.com - 23/04/2012, 09:03 WIB

Oleh Agung Setyahadi/Prasetya Eko P/Ingki Rinaldi/Ahmad Arif

KOMPAS.com - Bukit-bukit memagari hamparan biru air Danau Ranau. Gunung Seminung yang puncaknya tertutup sebaris awan berdiri megah di seberang.

Dari kaki gunung yang menjulur ke danau, air panas mengucur tanpa henti. Perahu kecil membelah jernih air, lalu berlabuh di tepian. Eduard (45) lalu menawarkan membawa ke sumber air panas itu.

Eduard, warga Banding Agung, Kota Batu, Ogan Komering Ulu Selatan, Sumatera Selatan, sama sekali tak mengira, danau indah itu adalah satu dari deretan danau di Pulau Sumatera yang terbentuk dari letusan dahsyat di masa lalu. Bahkan, ketika beberapa ikan di danau mati dan air danau menguarkan bau belerang menyengat. ”Dulu pernah ada ikan mati mendadak,” ungkap Eduard, pemilik perahu wisata.

Fenomena matinya ikan di Danau Ranau telah beberapa kali terjadi dalam 50 tahun terakhir. Kejadian itu di antaranya tahun 1962, 1993, 1995, dan 1998. Terakhir, fenomena ini juga terjadi pada 4 April 2011.

Dari penelitian Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (2011), kematian ikan itu tidak menyeluruh terjadi di area danau, tetapi hanya di sekitar keluarnya mata air panas, yakni di mata air panas Kota Batu, Ujung, dan mata air panas Way Wahid. Pada saat kejadian, air danau di lokasi matinya ikan biasanya berwarna putih susu dan berbau gas belerang. Dari hasil penelitian itu, pada sekitar kejadian ada gempa kecil di garis sesar yang melintang di sepanjang danau.

Air panas di kaki Seminung dan kematian ikan yang kerap terjadi merupakan pertanda jejak vulkanik yang masih tersisa di Danau Ranau.

Danau vulkanik

Sumatera saat ini lebih banyak menyedot perhatian karena aktivitas tektoniknya berupa gempa dan tsunami besar yang kerap terjadi. Di masa lalu aktivitas vulkanik di pulau ini ternyata sangat dahsyat. Jejak kedahsyatan vulkanik di Sumatera terlihat dalam bentuk danau-danau kaldera raksasa, salah satunya Danau Ranau seluas 127 kilometer persegi itu.

Letusan dahsyat Ranau terjadi sekitar 55.000 tahun yang lalu dan menyemburkan 150 kilometer kubik rempah vulkanik. Endapan aliran awan panas dan material jatuhan setebal ratusan meter menyelimuti area seluas 140 kilometer persegi.

Alessandro Tibaldi dari Departemen Ilmu Geologi dan Geoteknologi, Universitas Milan-Bicocca, Italia, dalam Volcanism in Reverse and Strike-Slip Fault Settings (2010) menjelaskan, evolusi Danau Ranau bermula dari terbentuknya cekungan akibat sesar pisah tarik (pull-apart fault). Dalam cekungan berukuran 12 km x 16,5 km ini, gunung api dan panas bumi bermunculan. Proses ini diikuti perkembangan kaldera- kaldera kecil. Peningkatan aktivitas vulkanik ini kemudian memperluas kaldera hingga ke bentuk seperti sekarang.

Sekitar 5.000 tahun sebelum letusan Ranau atau 60.000 tahun lalu, Maninjau Purba di Sumatera Barat juga meletus dahsyat. Letusan ini menyemburkan 220-250 kilometer kubik rempah vulkanik yang tersebar hingga radius 75 kilometer dari pusat letusan.

Gunung api Maninjau yang berkembang di zona Sesar Besar Sumatera itu diperkirakan tiga kali meletus besar. Masing- masing letusan membentuk kaldera yang saling menyambung hingga membentuk Danau Maninjau seperti saat ini.

Jejak letusan dahsyat Maninjau tersingkap jelas di Ngarai Sianok di dekat kawasan wisata Bukittinggi, Sumatera Barat. Lembah besar itu diapit tebing terjal berona cerah hasil aliran awan panas dan endapan material jatuhan letusan Maninjau Purba. Ketebalan material letusan yang terpotong Batang Sianok itu mencapai 220 meter.

Endapan material letusan Maninjau itu diteliti HD Tjia Geolog dari Universitas Kebangsaan Malaysia dan Ros Fatihah, peneliti geologi dari Universitas Malaya yang dituangkan dalam penelitian Blasts from the Past Impacting on Peninsular Malaysia (2008). Tjia yang pernah mengajar di Institut Teknologi Bandung (ITB) ini menemukan tiga teras sungai yang menunjukkan terjadinya tiga periode letusan itu. Teras pertama berada sekitar 16 meter dari dasar sungai. Teras kedua menjulang hingga 200 meter dan tidak ada pelapisan.

”Tuff (material endapan letusan) yang sangat tebal itu menunjukkan pernah terjadi letusan sangat besar yang semburan tepra (fragmen batu apung) tersebar sangat luas, seperti yang terjadi di Toba,” tulis Tjia.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Baca tentang


    komentar di artikel lainnya
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
    atau