Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pendidikan yang Merakyat

Kompas.com - 02/05/2012, 09:15 WIB

Kendati negeri ini disebut agraris—meski dua pertiga wilayahnya berupa laut—dan memiliki sekolah menengah, fakultas/jurusan/program studi, hingga institut teknologi pertanian, pertanian tidak mengalami kemajuan berarti. Perekonomian bangsa Indonesia tidak bersaka guru, baik pada pertanian maupun kelautan (perairan). Sementara 60 persen rakyat masih hidup dari pertanian, yang 80 persen di antaranya miskin.

Kelautan, perikanan, dan studi tentang keduanya baru mendapatkan perhatian pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid. Itu pun setelah ikan, pasir, dan kekayaan perairan kita banyak dijarah.

Sekarang pendidikan pertanian tergolong bidang yang jenuh, kurang diminati karena sulit mendapat pekerjaan. Konon 8 dari 10 lulusan institut pertanian yang terkenal tidak bekerja pada bidang yang bersangkutan. Lebih memprihatinkan lagi, sebagian besar petani menyekolahkan anaknya hingga ke level paling tinggi agar tak menjadi petani seperti orangtuanya. Apakah jadinya kelak negeri ini jika keadaan ini terus berlangsung?

Pendidikan kita sepertinya juga telah gagal membangun budaya bangsa yang merdeka dan berjiwa maju. Pertama, spirit dan pola pikir sebagian besar anak negeri ini masih melanjutkan gaya nenek moyang yang hidup dalam alam yang serba berkecukupan. Sifat serba ingin cepat, mudah, dan santai—meski melanggar aturan—masih menjadi ciri kepribadian bangsa. Kinerja belum menjadi nilai dan budaya yang dianut oleh sebagian besar masyarakat. Sementara itu, tantangan terus berubah, bahkan semakin berat.

Kedua, perilaku irasionalitas masih sangat dominan di tengah masyarakat kita. Alam mitis dan mistis masih bersemayam kuat dan semakin disuburkan melalui berbagai program ”penampakan” televisi. Emosionalisme yang ditandai oleh amuk dan keberingasan, terutama setelah reformasi, semakin menjadi. Kini, bukan hanya pelajar terlibat tawuran, polisi dan TNI juga saling menyerang. Rakyat berdemo, menyabet apa saja; dan anggota DPR pun berkelahi.

Ketiga, alam pikiran bangsa ini belum pulih dari memar keterjajahan sehingga penampilan para pemimpin dan pejabat kita persis perilaku para meneer dan amtenar kolonial: menindas dan korup. Di sisi lain, mentalitas kita menunjukkan sindrom minder yang akut, terutama terhadap Barat, sehingga sering kali mencari berbagai upaya penguatan semu.

Kelas dunia

Di tengah kegalauan bangsa ini, dunia pendidikan kita tiba-tiba seperti mengigau tentang ”kelas dunia” yang tidak jelas maksudnya: world class university ataupun (rintisan) sekolah bertaraf internasional.

Gagasan ”kelas dunia”, disadari ataupun tidak, muncul dari naluri dan kerangka berpikir Darwinisme Sosial yang melihat setiap perkembangan selalu dalam relasi konkurensi yang harus dimenangi.

Kosakata persaingan atau kompetisi kemudian menjadi visi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2025. Visi komersial ini menuntun segenap upaya pendidikan kita untuk melihat keluar, mengacu pada dan menggunakan standar-standar (yang dikira) internasional, misalnya negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD).

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau