”Kapasitas personal sebagai pengajar penting,” kata Kepala Bidang Peningkatan Mutu Dinas Pendidikan Kabupaten Jayawijaya Bambang Handoyo.
Dalam proses pendidikan, loyalitas dan panggilan menjadi seorang guru adalah sisi lain dari semangat anak-anak untuk belajar.
Namun, kondisi ideal itu tidak mudah diwujudkan di Papua. Tantangan alam dan keterbatasan sarana tidak hanya membatasi arus transportasi, tetapi juga informasi. Pendidikan di wilayah perkotaan berkembang karena akses terhadap transportasi dan informasi mudah. Kondisi di pinggiran dan pedalaman selalu berbanding terbalik.
Di SD Inpres Megapura, misalnya, satu buku pelajaran digunakan lima siswa. Meski demikian, bukan berarti semangat untuk mendampingi para siswa luntur.
”Kami tetap berupaya agar kualitas pendidikan terjaga,” kata Sih Asmoko yang telah mengajar di wilayah Jayawijaya sejak 26 tahun lalu.
Semangat serta niat kuat dari murid dan guru untuk menjadikan pendidikan di Papua berkembang adalah kunci keberhasilan. Hal tersebut akan makin berhasil apabila kesadaran orangtua untuk ikut mendukung anak-anak ke sekolah cukup optimal. Melihat Kelitus Wetipo dan Selinius Wetipo, siswa SD Inpres Megapura, belajar dalam remang cahaya lilin seolah memberi keyakinan dan harapan.
Di Wamena, konflik antara semangat untuk maju pada satu sisi dan keterbatasan fasilitas serta derasnya arus perubahan memunculkan ekses lain. Sejumlah anak usia sekolah menghabiskan hari-hari mereka di Pasar Jibama dan jalan raya. Baju lusuh, mata merah, dan mereka berjalan gontai karena keseringan menghirup uap lem Aica Aibon yang memabukkan.
Kelitus Wetipo tidak ingin seperti itu. Dia tekun belajar sebab ingin seperti kakaknya, Meriana Wetipo, yang saat ini mengecap pendidikan di sebuah perguruan tinggi di Jakarta. Tak heran ketika Selinius Wetipo menyanyikan lagu berjudul ”Sekolah Arigi Weago” itu, Kelitus bertepuk tangan riang, kepalanya bergoyang ke kiri dan ke kanan.
Olimpiade matematika
Lagu itu seolah mewakili semangat anak-anak muda yang tinggal dalam honai laki-laki milik Ruben Wetipo, tetua kampung adat yang berada di Walesi, Kabupaten Jayawijaya. Malam itu, meski hanya diterangi cahaya lilin, mereka menghabiskan waktu dengan belajar.
Cahaya sebatang lilin menjadi saksi betapa keras usaha mereka. Perih? Kelitus Wetipo, siswa kelas IV SD Santo Stefanus Wouma, Wamena, itu mengatakan, mata mereka telah terbiasa membaca dalam remang cahaya lilin. Tak ada keluhan.
Ruben Wetipo, tetua komunitas tempat honai laki-laki itu berada, dengan bangga mengatakan, dari honai itu telah dihasilkan delapan sarjana, di antaranya sarjana sosiologi dan filsafat. Dari honai kecil di pinggiran kota Wamena itu pula lahir pemenang lomba olimpiade matematika yang mewakili Kabupaten Jayawijaya. ”Saat ini, anak saya, Meriana Wetipo, menempuh pendidikan di Surya Institute (lembaga yang didirikan Prof Yohanes Surya),” ungkap Ruben.
Mereka mampu menjadi mandiri, memilih untuk menggunakan waktu dengan giat belajar meski dalam aneka keterbatasan. Seperti alunan lagu yang dinyanyikan Selinus Haluk, sekolah itu sangat susah, banyak tantangan, karena itu perlu kerja keras dan hanya dengan itu mimpi akan terwujud.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.