Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pendidikan dalam RUU PT

Kompas.com - 23/05/2012, 04:32 WIB

Oleh Setyo Pamuji

Akhir-akhir ini, perguruan tinggi bergejolak akibat beberapa wacana yang dikeluarkan oleh pemerintah.

Belum kering pembahasan tentang kebijakan yang mewajibkan lulusan perguruan tinggi untuk publikasi karya ilmiah di jurnal, muncul lagi polemik terkait Rancangan Undang-Undang Perguruan Tinggi (RUU PT).

Kebijakan pemerintah seharusnya mengutamakan kepentingan masyarakat sehingga segala kebijakan mencerminkan kebaikan bersama. Demikian pula halnya jika kebijakan dibuat untuk perguruan tinggi, maka selayaknya berpihak pada perguruan tinggi. Apalagi, perguruan tinggi penting untuk mendorong kemajuan bangsa. Akan tetapi, RUU PT tak mewakili aspirasi masyarakat, khususnya bagi civitas academica. Beberapa klausul dari peraturan tersebut dapat menyudutkan pendidikan dalam negeri, bahkan mematikannya.

Liberalisasi dan penjajahan

Ada beberapa pasal yang perlu dikritisi dalam RUU PT ini. Pasal-pasal tersebut dianggap dapat memperburuk dunia pendidikan Indonesia. Seperti Pasal 77 yang menyebutkan bahwa pemerintah memilah perguruan tinggi menjadi tiga kategori, yakni otonom, semi-otonom, dan otonom terbatas. Otonomisasi pendidikan sangat rawan disalahgunakan oleh pengelola perguruan tinggi yang tak bertanggung jawab.

Pada konteks tersebut, pemerintah memberi kewenangan pada perguruan tinggi dalam mengelola keuangan, termasuk cara memperolehnya. Pada kondisi seperti ini, sangat mungkin pendidikan dianggap sebagai komoditas perdagangan. Otonomi tersebut, jika tak bijak disikapi, akan menjadi ancaman bagi nilai luhur pendidikan Indonesia.

Akan banyak muncul perguruan tinggi yang memanfaatkan otoritasnya untuk membuat kebijakan yang menguntungkan. Misalnya, dengan biaya kuliah yang mahal. Tingginya biaya ini berimplikasi langsung dalam bentuk diskriminasi pendidikan karena orang dengan ekonomi lemah akan termarjinalkan.

Selain itu, Pasal 90 juga berdampak buruk bagi mahasiswa. Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa pemerintah memberikan dan/atau mengusahakan pinjaman dana kepada mahasiswa. Sepintas hal tersebut tampak membantu mahasiswa. Namun, sebenarnya hal itu menciptakan kebiasaan buruk: mahasiswa akan terbiasa berutang.

Lebih jauh, utang dapat membuat kebebasan mahasiswa terbelenggu. Ketika mahasiswa tersebut memiliki pinjaman dari kampus, hal itu secara tak langsung dapat menjadi penumpul jiwa kritis mahasiswa. Apalagi, jika pemberian utang itu disertai persyaratan yang mengungkung kebebasan: mahasiswa penerima beasiswa tidak boleh ikut demonstrasi, misalnya.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com