SYAMSUL RIZAL
Tulisan Sulistyowati Irianto, Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia, berjudul ”Kebebasan Akademik Itu...” (Kompas, 5/5) perlu dicermati. Saat ini sangat jarang kita temui pendapat yang ideal, bernas, dan penuh pengayaan buat masyarakat, khususnya masyarakat akademik.
Pendapat beliau yang sangat mengharukan itu saya kutip kembali. Otonomi universitas akan menumbuhkan budaya akademik yang mengajarkan nilai-nilai ilmu pengetahuan, argumentasi dengan dasar ilmiah dalam setiap pengambilan keputusan. Budaya akademik yang demikian akan melahirkan hubungan kolegial yang egaliter dan sehat atas dasar saling menghormati dan memberdayakan di antara para ilmuwan.
Apabila universitas dijadikan bagian dari birokrasi pemerintah, akan tumbuh budaya birokrasi yang lamban, tidak efisien, dan korup. Universitas di Indonesia akan semakin tidak mampu mengejar perkembangan ilmu dan akan kalah bersaing dengan universitas di dunia.
Sebetulnya kebebasan akademik, walau secara terbatas, pernah diberikan kepada perguruan tinggi negeri (PTN) tertentu. Tatkala kebebasan akademik itu diberikan kepada PTN yang merupakan centre of excellence di Indonesia, seperti Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Institut Pertanian Bogor, dan Universitas Gadjah Mada, PTN-PTN ini langsung terasa sangat ”lapar”. Kebebasan akademik yang diberikan oleh pemerintah itu telah disalahartikan dan ditafsirkan lain oleh pengelolanya.
Bukan kebebasan akademik saja yang dilaksanakan, kebebasan yang terasa mencekik masyarakat juga dipertontonkan secara vulgar. Biaya kuliah yang ditetapkan, terutama pada program studi favorit, melesat ke ruang angkasa.
Panitia penerimaan mahasiswa baru PTN-PTN kuat ini road show ke sejumlah provinsi. Di setiap provinsi, mereka bersekongkol dengan pejabat pemerintah daerah setempat dengan cara win-win solution. Anak-anak di daerah direkrut dengan alasan PTN kuat ini akan melakukan penerimaan yang merata sampai ke daerah-daerah. Dengan biaya mahal, pemda merogoh kantong APBD-nya dalam-dalam agar anak-anak di daerah tersebut diberi beasiswa. Perlu juga ditelusuri, siapa saja anak-anak penerima beasiswa itu.
Di samping itu, dengan biaya yang sangat tinggi, semakin sulit saja mahasiswa miskin masuk ke PTN-PTN kuat. Karena itu, tatkala Mahkamah Konstitusi membatalkan UU Badan Hukum Pendidikan, yang salah satu alasannya karena UU ini bertentangan dengan Pasal 28D Ayat 1, dan Pasal 31 UUD 1945, masyarakat pun bersorak gembira.
”Hukum rimba”
Hanya yang kuatlah yang menang! Inilah makna dari survival of the fittest, sebuah frase yang diperkenalkan pertama kali oleh filsuf Herbert Spencer setelah membaca karya monumental Charles Darwin, On the Origin of Species. Frase ini pemaknaannya terus berkembang dinamis. Dalam dunia kemasyarakatan, frase ini sering direfleksikan sebagai hukum rimba: yang kaya memakan yang miskin, yang pandai mengelabui yang bodoh, yang kuat menginjak-injak yang lemah.